Translate

Buber angkatan

Teman itu >> selalu bisa buat kita ketawa dimanapun tempatnya dan makan apapun* yang ada didepanya!

Jalan-jalan

Teman itu >> selalu eksis dimanapun ada orang foto (habibi) ^_^.

Andika love Reza

Teman itu >> yang bikin kita terlihat seukuran dengan yang lainya :p (reza keliatan ideal kalo disamping andika).

Masa lampau (semester-2)

dari sekian banyak orang diatas, mana yg sampai sekarang face.nya g berubah2???

Herlambang and Rofiqoh

Teman itu >> bisa dijadikan pendamping setia sehidup semati. cirrrrcuitttt...

Jalan2 ke merbabu

Teman itu >> yang ngajak kita sholat dimanapun tempatnya

Fahmi - Habibi

Teman itu >> kadang terlihat sama walaupun jelaaaaas sekali berbeda

Senin, 13 Februari 2012

Asma Bronkiale

1.6.1. Definisi Asma Bronkiale
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan
berarti serangan nafas pendek25). Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan
tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai
berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari
(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat
asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan1).
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas
dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada
tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari3). Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang
sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan,
inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan.
1.6.2. Patofisiologi Asma
Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus25). Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas menyempit
pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obtruksi
terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernafas pada volume yang tinggi
mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran
nafas tetap terbuka dan pertukaaran gas berjalan lancar.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat dinilai secara obyektif
dengan Volume Ekspirasi Paksa (VEP) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE).
Sedangkan penurunan Kapasitas Vital Paksa (KVP) menggambarkan derajat
hiperinflasi paru. Penyempitan saluran nafas dapat terjadi baik pada di saluran nafas
yang besar, sedang maupun yang kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan
di saluran nafas besar.
Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh
bronkokontriksi, hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan
deskuamasi sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan
nonspesifik, akan adanya jalan nafas yang hiperaktif, mencetuskan respon
bronkokontriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi alergen yang dihirup (tungau
debu, tepungsari, sari kedelai, dan protein minyak jarak), protein sayuran lainnya,
infeksi virus, asap rokok, polutan udara, bau busuk, obat-obatan (metabisulfit), udara
dingin, dan olah raga26).
Patologi asma berat adalah bronkokontriksi, hipertrofi otot polos bronkus,
hipertropi kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi sel radang (eosinofil, neutrofil,
basofil, makrofag), dan deskuamasi. Tanda-tanda patognomosis adalah krisis kristal
Charcot-leyden (lisofosfolipase membran eosinofil), spiral Cursch-mann (silinder
mukosa bronkiale), dan benda-benda Creola (sel epitel terkelupas).
Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena jalan nafas
intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Penyumbatan jalan nafas
difus, penyumbatan ini tidak seragam di seluruh paru. Atelektasis segmental atau
subsegmental dapat terjadi, memperburuk ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
Hiperventilasi menyebabkan penurunan kelenturan, dengan akibat kerja pernafasan
bertambah. Kenaikan tekanan transpulmuner yang diperlukan untuk ekspirasi melalui
jalan nafas yang tersumbat, dapat menyebabkan penyempitan lebih lanjut, atau
penutupan dini (prematur) beberapa jalan nafas total selama ekspirasi, dengan
demikian menaikkan risiko pneumotoraks.
1.6.3. Epidemiologi Asma
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada
umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya
muncul sebelum umur 4-5 tahun26). Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang
hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah ditangani.
Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang
terus menerus dari pada yang musiman. Hal tersebut yang menjadikannya tidak
mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari
hari ke hari.
Asma sudah dikenal sejak lama, tetapi prevalensi asma tinggi. Di Australia
prevalensi asma usia 8-11 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat menjadi
29,7% pada tahun 199227). Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi
antara 3%-8%, penelitian di Menado, Pelembang, Ujung Pandang, dan Yogyakarta
memberikan angka berturut-turut 7,99%; 8,08%; 17% dan 4,8%29).
Penelitian epidemiologi asma juga dilakukan pada siswa SLTP di beberapa
tempat di Indonesia, antara lain: di Palembang, dimana prevalensi asma sebesar
7,4%; di Jakarta prevalensi asma sebesar 5,7% dan di Bandung prevalensi asma
sebesar 6,7%9). Belum dapat disimpulkan kecenderungan perubahan prevalensi
berdasarkan bertambahnya usia karena sedikitnya penelitian dengan sasaran siswa
SLTP, namun tampak terjadinya penurunan (outgrow) prevalensi asma sebanding
dengan bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang
menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika dibandingkan
dengan prevalensi asma pada anak9, 30).
1.6.4. Etiologi Asma
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom,
imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada berbagai
individu26). Aktivitas bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik
sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor
batuk atau iritan, tergantung pada lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang
aferens, yang pada ujung eferens merangsang kontraksi otot polos bronkus.
Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos
bronkus. Neurotramnisi peptida vasoaktif merupakan suatu neuropeptida dominan
yang dilibatkan pada terbukanya jalan nafas.
Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah
pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan ketombe.
Bentuk asma inilah yang paling sering ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan pada
orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut intrinsik.
Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya dengan
kehamilan dan mentruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma membaik pada
beberapa anak saat pubertas. Faktor psikologis emosi dapat memicu gejala-gejala
pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifatsifat
perilaku yang dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak dengan
penyakit kronis lainnya.
1.6.5. Diagnosis Asma
Penegakan diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, tanda-tanda klinik dan
pemeriksaan tambahan40).
1. Pemeriksaan anamnesis keluhan episodik batuk kronik berulang, mengi, sesak
dada, kesulitan bernafas,
2. Faktor pencetus (inciter) dapat berupa iritan (debu), pendinginan saluran nafas,
alergen dan emosi, sedangkan perangsang (inducer) berupa kimia, infeksi dan
alergen.
3. Pemeriksaan fisik sesak nafas (dyspnea), mengi, nafas cuping hidung pada saat
inspirasi (anak), bicara terputus putus, agitasi, hiperinflasi toraks, lebih suka
posisi duduk. Tanda-tanda lain sianosis, ngantuk, susah bicara, takikardia dan
hiperinflasi torak,
4. Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian metakolin atau
bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat membantu menegakkan
diagnosis asma26).
Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah umur 3 tahun. Untuk anak yang
sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru
yang sederhana dengan peak flow meter atau yang lebih lengkap dengan spirometer,
uji yang lain dapat melalui provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan
(exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis. Penggunaan peak
flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung
diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma, selain itu dapat juga
menggunakan lembar catatan harian sebagai alternatif 41).
1.6.6. Klasifikasi Berdasarkan Berat Penyakit
Klasifikasi asma yaitu31).
1. Asma ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena
reaksi alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa
terhadap orang yang sehat.
2. Asma intrinsik
Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang
berasal dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kodisi lingkungan
yang buruk seperti klembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang
berlebihan.
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma
berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:
1. Asma Intermiten (asma jarang)
- gejala kurang dari seminggu
- serangan singkat
- gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
- FEV 1 atau PEV > 80%
- PEF atau FEV 1 variabilitas 20% – 30%
2. Asma mild persistent (asma persisten ringan)
- gejala lebih dari sekali seminggu
- serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
- FEV 1 atau PEV > 80%
- PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% – 30%
3. Asma moderate persistent (asma persisten sedang)
- gejala setiap hari
- serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu
- FEV 1 tau PEV 60% – 80%
- PEF atau FEV 1 variabilitas > 30%
4. Asma severe persistent (asma persisten berat)
- gejala setiap hari
- serangan terus menerus
- gejala pada malam hari setiap hari
- terjadi pembatasan aktivitas fisik
- FEV 1 atau PEF = 60%
- PEF atau FEV variabilitas > 30%
Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat diklasifikasikan
berdasarkan derajat serangan asma yaitu:
1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat,
bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi,
2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat,
lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan
kadang -kadang terdengar pada saat inspirasi,
3. Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi duduk
bertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat
nyaring terdengar tanpa stetoskop,
4. Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingunan, sudah tidak
terdengar mengi dan timbul bradikardi.
Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan asma.
Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan asma
ringan. Sedangkan asma ringan dapat mengalami serangan asma berat, bahkan
serangan asma berat yang mengancam terjadi henti nafas yang dapat menyebabkan
kematian3).
1.6.7. Faktor-faktor Risiko Asma Bronkiale
Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor
risiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor
risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan asma yang
disebut trigger faktor atau faktor pencetus3). Adapun faktor risiko pencetus asma
bronkial yaitu32):
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga

Artikel diatas berasal dari : download pdf

ASMA (++ buku pedoman asma DINKES)

PENDAHULUAN
Sejarah : Asma bronkial ialah suatu keadaan dimana ditemukan
adanya penyempitan saluran nafas yang luas, yang berubah-
ubah dalam derajatnya baik secara spontan atau akibat
pengobatan dan tidak disebabkan penyakit kardiovaskuler
(Ciba Foundation Symposium 1958). Pernyataan tadi hanyalah
merupakan gambaran penyakit saja dan bukan definisi
karena yang akhir harus mencakup etiologi dan patogenesis
penyakit. Sampai sekarang sebetulnya belum ada definisi asma
yang dapat diterima semua ahli. "Asthma Workshop" yang
diadakan tahun 1971 juga tidak berhasil memberikan definisi
yang jelas.
Pada permulaan abad ke 20 ini, asma diduga karena imbalans
otonom, "Is not the vagus, the nerve of the night, the
cause of asthma during the early hours of the morning,
controlled with stramonium in asthma cigarettes and eventually
with atropin and its derivatives ? " Di tahun 1920 ditemukan
bahwa histamin berperanan pada syok anafilaktik kelinci.
Di tahun 1935 Bovet dapat membuktikan bahwa antihistamin
melindungi kelinci yang sudah disensitasi terhadap suntikan
alergen ke 2. Tetapi, para ahli alergi sangat kecewa waktu
melihat bahwa asma bronkial tidak dapat diobati dengan
antihistamin, bahkan kadang-kadang menjadikannya lebih
buruk. Pada waktu itu para ahli masih berpendapat bahwa
kebanyakan asma bronkial adalah neurotik. Baru kemudian
Cooke menganggap asma bronkial adalah alergi dan faktorfaktor
lain seperti keresahan, imbalans otonom, kecapean,
penyakit endokrin, latihan jasmani, dingin, lembab, gas dan
asap tidaklah merupakan sebab utama.
Setelah perang dunia ke 2, dari penelitian in-vitro dapat
ditemukan adanya peranan dari "messenger hormones"
intraseluler seperti siklus AMP/GMP mastosit penderita asma
disangka mempunyai peranan dalam patogenesis. Tidak adanya
sel tersebut pada kasus asma berat/fatal menunjang sangkaan
tersangkutnya mastosit pada proses gangguan saluran nafas,
baik yang imunologik maupun yang non-imunologik.
Di tahun 1973 ditemukan adanya reaksi alergi pada jaringan
mastosit penderita asma bila terjadi interaksi antara sel yang
disensitasi dan IgE yang diikatnya. Bagaimana peranan mastosit
pada "excercise induced" asma bronkial ? Dalam ketidaktentuan
ini, mula-mula telah dicoba untuk membagi asma
bronkial menjadi (i) ekstrinsik, dimana ditemukan ada antigen;
(ii) intrinsik, bila antigen tidak jelas ada. Nama intrinsik sebetulnya
mengaburkan karena sebabnya yang masih belum diketahui.
Ketidakjelasan tentang gangguan fundamentil anatomi
dan fisiologi yang menimbulkan serangan asma bronkial,
masih merupakan persoalan untuk membuat suatu definisi.

Hal-hal yang dapat membantu timbulnya serangan.
Meskipun gangguan fundamentil pada asma belum dapat dipastikan
tapi telah diketahui bahwa berbagai faktor dapat
membantu menimbulkan serangan asma bronkial pada seseorang
yang dapat berupa :
• imunologik, dimana ditemukan adanya alergen yang mampu
menimbulkan pembentukan antibodi reagin.
• Non-imunologik, dimana tidak ditemukan alergen.
Contoh dari yang non-imunologik misalnya aspirin dan obatobat
sejenisnya, efek farmakologik dari obat, iritan pada
saluran nafas, latihan jasmani, emosi, cuaca, polusi udara dan
infeksi.

Diagnosis.
Anamnesis yang teliti merupakan bagian terpenting termasuk
gambaran dan banyaknya serangan, wizing atau batuk,
serta lama, frekuensi, intensitas serangan dan waktu-waktu
tanpa serangan. Perlu diketahui sampai mana simtomnya
mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti pekerjaan, sekolah,
ataupun main-main dan tidur. Pada pemeriksaan fisik perlu
diperhatikan adanya rinitis alergik, polip, observasi dada,
kualitas suara nafas, wizing, ronki, dan ikut bekerjanya otototot
pembantu pernapasan.
Pada asma yang berat sekali, karena aliran udara yang
sangat kecil, sering tidak ditemukan wizing (silent chest).
Derajat obstruksi perlu diketahui dan dapat diukur dengan
spirometer. Meskipun penderita tidak mempunyai keluhan
dan tidak menunjukkan wizing pada pemeriksaan fisik, gangguan
obstruksi sering dapat ditemukan. Bila terdapat obstruksi,
sedapatnya gangguan faal paru tersebut dicoba untuk dikembalikan
ke keadaan senormal mungkin dengan pemberian bronkodilator.
Pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan. Eosinofilia dalam
darah dan atau sputum ditemukan baik pada asma jenis
alergik maupun pada asma yang bukan alergik.
Selanjutnya tes kulit perlu dilakukan untuk memperkuat
diagnosis dan menentukan rencana pengobatan. IgE biasanya gilosis
bronkopulmoner.
Dalam keadaan yang berat, perlu dilihat perbaikan faal
paru sebagai hasil pengobatan, dan kalau tidak ada perbaikan
perlu dilakukan analisa gas darah.
Bila pada pemeriksaan tidak ditemukan wizing, dan diduga
ada asma, dapat dilakukan tes provokasi misalnya dengan :
– tes latihan jasmani
– tes histamin
– tes metakolin
Diagnosis asma dapat ditegakkan kalau tes tersebut menimbulkan
penurunan dalam FEV1 ≥ 20%.
Selanjutnya asma akibat lingkungan kerja makin banyak
dikenal. Ada pula sindrom yang terdiri dari polip hidung,
asma dan sensitivitas terhadap aspirin dan atau bahan antiinflamasi-
nonsteroid. Ternyata cukup banyak dijumpai penderita
asma yang menunjukkan penurunan FEV1 sesudah
makan aspirin.

Prognosis dan komplikasi
Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang
tidak disertai komplikasi. Hal ini akan tergantung pula dari
umur, pengobatan, lama observasi dan definisi. Prognosis
selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari kepustakaan didapatkan
bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa
sekitar 26% - 78%.
Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma,
prognosis lebih baik, kecuali kalau mulai pada umur kurang
dari 2 tahun. Adanya riwayat dermatitis atopik yang kemudian
disusul dengan rinitis alergik, akan memberikan kemungkinan
yang lebih besar untuk menetapnya asma sampai usia dewasa.
Asma yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya berat dan
sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya
mulai menderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada
anak harus diobati dan jangan ditunggu serta diharapkan akan
hilang sendiri. Komplikasi pada asma terutama infeksi dan
dapat pula mengakibatkan kematian.

PATOLOGI PADA ASMA
Kelainan saluran nafas dapat ditemukan pada tingkat susunan
saraf otonom, mastosit, mukosa, otot polos bronkus, aparat
mukosilier.

Patologi anatomik asma
Kelainan anatomik pada asma menyangkut semua lapisan
dinding saluran nafas, termasuk lumen, mukosa, submukosa
dan otot polos.
1. Lumen.– Sering ditemukan adanya sumbatan mukus
yang kental dan liat, yang sulit untuk dikeluarkan, yang terdiri
dari bagian mukus, serus dan seluler. Bagian seluler berasal
dari sel eosinofil, kristal Charcot-Leyden yang berasal dari sel
eosinofil dan epitel bronkus yang disebut "creola bodies".
2. Mukus.– Mukus trakeobronkial terdiri dari golongan
glikoprotein. Pada penderita asma terjadi peninggian sintesis
dari mukopolisakaride. Mekanisme mukosilier pada asma
terganggu karena ada kelambatan pada tranpor mukosilier.
Mukus penderita asma mengandung lebih banyak protein
serum. Hal hal tersebut merupakan sebab utama dari perubahan
sifat fisik yang menimbulkan kelambatan "clearance".
Zat-zat kolinergik meninggikan produksi mukus dari kelenjar
sub-mukosa, merangsang frekuensi "ciliary beat" dan membantu
transpormukosilier. Zat-zat adrenergik Beta juga menstimulir
transpor pada penderita asma, tapi bagaimana mekanismenya
dalam meninggikan "Clearance" belum diketahui.
3. Epitel bronkus.— Pada status asmatikus tidak ditemukan
adanya silia, karena terlepas oleh desakan sel ke lumen dan
diganti dengan sel goblet hiperplastik yang membentuk mukus.
Juga terjadi infiltrasi sel, terutama eosinofil dan edem mukosa.
Mungkin epitel orang atopik lebih permeabel terhadap molekul
protein dari pada orang normal.
4. Submukosa. – Edem dan infiltrasi sel lebih sering dijumpai
pada sub mukosa dibandingkan dengan epitel, di sini
sel-selnya lebih heterogen, seperti limfosit, histiosit, sel plasma
dan eosinofil. Kelenjar submukosa membesar, seperti juga
halnya pada bronkitis kronis dan penebalan membran basal
adalah khas untuk asma. Hal ini disebabkan karena timbunan
kolagen di bawah membran basal.
Callerame dkk menemukan deposit IgA, IgG dan IgM dimembran
basal. IgE hanya ditemukan dalam sel mononuklir
yang disangka sel plasma. Gerber dkk menemukan deposit
IgE di epitel mukosa orang asma dan diduga bahwa mukosa
adalah jaringan target dan tempat terjadinya reaksi imun pada
asma. Harus pula dipikirkan, bahwa adanya Ig dalam paru
dapat disebabkan sebagai akibat infeksi.
Mastosit hampir tidak ditemukan pada status asmatikus,
yang kemungkinan besar disebabkan karena degranulasi.
Degranulasi dapat pula disebabkan karena hipoksia dan edem
submukosa yang mengencerkan mastosit. Mastosit yang ada
di lumen dan epitel dapat mengeluarkan bahan mediator yang
merubah permeabilitas mukosa sehingga memungkinkan
masuknya antigen sampai mastosit di submukosa.
5. Otot polos bronkus.– Ada bukti jelas bahwa pada asma,
otot polos bronkus bertambah akibat hiperplasi dan hipertrofi.
Hal ini dapat terjadi akibat adanya bronkokonstriksi yang lama.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan adanya perbedaan
antara otot polos pada orang asma dan orang normal.
Szantivanyi berpendapat bahwa otot polos orang asma mengandung
lebih sedikit reseptor adrenergik Beta sehingga akan
lebih cepat terjadi bronkokonstriksi karena rangsangan kolinergik
atau mediator yang dikeluarkan pada reaksi alergi.
Mungkin pula, bahwa IgE merubah faal dari otot polos.

Kontrol neurogen terhadap otot polos bronkus
1. Dalam keadaan normal.
(a) Eferen.– Penyelidikan morfologi dan histokimia menunjukkan
bahwa otot polos trakeobronkial diinervasi oleh
serat parasimpatis posganglion dari N X, yang menyebabkan
otot polos ada dalam tonus istirahat. Bila inervasi ini dibuang ,
akan menimbulkan sedikit bronkodilatasi dan stimulasi elektris
NX akan menimbulkan konstriksi bronkus dan duktus alveolus.
Efek agonis adrenergik Beta adalah mengurangi tonus otot
polos bronkus yang meninggi. Karena tidak ada inervasi
adrenergik dari trakea & bronkus, maka respon terhadap
agonis tadi hanya dapat diterangkan melalui reseptor pada
otot polos.
(b) Aferen.– Beberapa aferen N X dari paru sudah diketahui.
Reseptor paling atas adalah "pulmonary stretch
receptor" yang diduga ada di otot polos dan bertanggung
jawab untuk "Hering Breuer" inflation reflex". Reseptor ke 2
yang penting dalam patogenesis asma adalah yang disebut
"irritant" atau "rapidly adapting receptor" yang ada di epitel
saluran nafas.
Rangsangan terhadap reseptor tersebut akan menimbulkan
batuk dan refleks konstriksi bronkus. Reseptor ini juga bereaksi
terhadap berbagai rangsangan mekanis dan kimiawi, termasuk
badan mediator pada reaksi alergi tipe 1.
Reseptor ke tiga ialah reseptor bronkopulmoner yang diaktifkan
beberapa bahan kimia dan edema interstisial. Peranan
"Y" receptor ini tidak jelas, tapi mempengaruhi kontrol
refleks.
2. Kelainan pada asma.
Ada perubahan dan/atau imbalans dalam susunan saraf
otonom. Iritabilitas yang meninggi dari saluran nafas adalah
kelainan fisiologi yang paling khas pada asma. Khas karena
terjadi bronkokonstriksi akibat kontak dengan berbagai
rangsangan dalam konsentrasi yang pada orang normal tidak
menimbulkan apa-apa. Diduga bahwa aktivitas kolinergik N X
yang berlebihan menyebabkan terjadinya hal tersebut.

PATOFISIOLOGI OBSTRUKSI SALURAN NAFAS.
1. Pendahuluan
Kenaikan resistensi saluran nafas dapat disamakan dengan
bernafas melalui tabung yang sempit. Meningginya tonus
bronkus pada penderita asma, menyebabkan terjadinya penutupan
saluran nafas yang dini. Obstruksi saluran nafas
antara lain terjadi oleh karena :
• spasme otot polos
• hipertrofi otot polos
• edema dinding bronkus dengan infiltrasi sel inflamasi
• hipersekresi kelenjar dengan mukus yang menyumbat
Semuanya ini merupakan hal-hal yang penting pada asma
kronis dan status asmatikus.

2. Patofisiologi pada serangan asma
• Fisiologi paru berubah pada asma akut antara lain karena
hiperinflasi, yang dapat mengakibatkan melebarnya ukuran
alveoli dan kaliber bronkus. Mungkin hiperinflasi inilah yang
menimbulkan rasa sesak pada serangan asma.
• Gangguan sirkulasi pada asma.– Hiperinflasi dan meningginya
tekanan negatif pleural selama inspirasi menimbulkan
stres pada sistem kardiovaskuler. Serangan asma berat memberikan
efek pada ventrikel kanan, sama seperti pada cor
pulmonale akut karena embolus paru. Stres pada ventrikel
kanan sering pula berakibat pada ventrikel kiri. Pada asma
berat tanpa komplikasi, terjadi kenaikan konsumsi O2 dan
kenaikan "cardiac output".
• Gas darah pada asma.– Asma akut disertai penurunan PO2 .
Hipoksemia yang berhubungan erat dengan derajat obstruksi
saluran nafas. Kalau PO2 < 60 mg Hg, biasanya FEV1 sudah
kurang 20% dari "predicted". Hipoksemi pada asma disebabkan
karena gangguan difusi.
PENGOBATAN ASMA.

A. Tindakan tidak spesifik.
1. Pembersihan saluran napas, mengeluarkan sputum,
.sumbatan-sumbatan mukus antara lain dengan nebulasi larutan
garam.
2. Mengontrol lingkungan. – (a) Alergen yang mengganggu
harus dijauhkan, antara lain binatang, debu rumah, jamur dan
makanan, (b) Iritan, harus pula dijauhkan antara lain polusi
udara, asap rokok, bau dapur dan semprotan semprotan obat
atau bahan-kimia. Penderita sendiri dilarang merokok dan
mengurangi latihan fisik berat.
3. Infeksi. Diberikan antibiotika bila perlu. Pada status
asmatikus, sputum dapat jadi purulen karena banyaknya
jumlah eosinofil. Maka sputum demikian perlu dibiakkan
untuk diagnostik dan pengobatan adekuat.
4. Tindakan fisik. Latihan-latihan umum harus dianjurkan
dan asma bukanlah alasan untuk tidak melakukan olah raga.
Berenang tidak begitu menimbulkan bronkospasme.
5. Penanggulangan psikologik. Kadang-kadang serangan
dapat diobati dengan sugesti saja. Asma adalah penyakit
badaniah, tetapi faktor emosi dapat mengubah perjalanan
penyakit. Banyak penderita dapat mengolah persoalan emosinya
sendiri tetapi justru karena asma biasanya merupakan
penyakit kronis sehingga sering berhubungan dengan gangguan
psikik.
Tindakan tindakan suportif lain yang dapat dilakukan
antara lain :
– tehnik relaksasi,
– meditasi,
– "biofeedback",
– hipnosis.
Hasil pengobatan cara-cara tersebut masih disangsikan.

B. Penanggulangan dengan obat.
1. Obat-obat simpatomimetik, yang dapat dibagi menjadi
(i) alfa agonis, dan (ii) beta agonis (obat-obat yang bekerja
pada reseptor-beta).
Ditahun I967, Lands membagi beta agonis menjadi beta 1 dan
beta 2. Efek yang di inginkan pada asma adalah efek beta 2
yang antara lain adalah :
– relaksasi otot polos (bronkus, pembuluh darah).
– merintangi pelepasan bahan mediator dari mastosit.
Efek samping obat simpatomimetik adalah efek beta 1,
seperti takikardi dan palpitasi.
Cara pemberian, biasanya peroral atau sebagai aerosol
Pemberian Intravena hanya dalam keadaan yang berat. Obatobat
dengan khasiat beta 2 selektif sudah beredar dipasaran
dan masih mengandung sedikit efek terhadap jantung dan otototot
(tremor).
Pada keadaan yang gawat, dapat dianjurkan pemberian
epineprin atau isoproterenol yang kerjanya cepat, tapi di
klinik biasa pemakaian beta 2 agonis dianggap lebih aman.
Efedrin adalah bentuk obat adrenergik yang banyak dipakai,
mempunyai efek kerja lama dan efektif peroral.
2. Disodium Kromoglikat (DKG)
Diduga merintangi pelepasan bahan mediator dari mastosit
setelah terjadi reaksi antigen-antibodi. DKG efektif baik pada asma alergik maupun non-alergik, juga pada "exercise induced
asthma". Obat ini hanya dipakai sebagai pencegah serangan
asma dan tidak dipakai kalau sudah ada serangan.
3. Teofilin.
Termasuk obat yang tertua untuk usaha menghilangkan
bronkokonstriksi dan pula merupakan obat yang paling
banyak dipakai. Cara pemberiannya dapat oral, IM, IV dan
per-rektal. Disamping efek bronkodilatasi, teofilin mempunyai
efek diuretik ringan, stimulasi SSP dan peninggian kontraktilitas
"voluntary muscle". Teofilin menghambat fosfodiesterase,
sehingga meninggikan siklik 3 - 5 AMP seluler. Mengingat
efek obat-obat simpatomimetik dan teofilin terhadap
siklik AMP tidak melalui jalan yang sama maka kedua jenis
golongan obat ini dapat dipakai bersamaan.
Penentuan kadar teofilin dalam plasma perlu dilakukan
untuk mengetahui efek terapeutiknya, terutama kalau disertai
penyakit payah jantung, kegagalan hati atau obesitas. Kadar
plasma antara 10 - 20 ug/ml adalah kadar yang dianggap
efektif. Efek samping yang sering terjadi adalah anoreksi,
nausea, gangguan gastrointestinal, iritabilitas dan agitasi dari
SSP. Efek samping yang lebih berat lagi dapat berupa perdarahan
gastro-intestinal, CVA, kolaps, kegagalan pernapasan
dan nefrotoksik.
4. Glukokortikoid.
Obat jenis ini sangat efektif pada pengobatan asma. Efek
kerjanya mungkin dengan jalan :
- meninggikan respon adrenergik beta,
- menurunkan aktivitas ATPase,
- menstabilisir membran sel dan lisosom,
- menekan pembentukan prostaglandin,
- mengurangi cadangan histamin dan SRS—A.
Prinsip umum yang dipakai pada pemberian untuk jangka
waktu yang lama adalah :
- pemakaian selang sehari,
- dipakai preparat "short acting",
- pengawasan untuk kemungkinan terjadinya komplikasi
seperti tuberkulosis paru, ulkus peptikum dan sebagainya,
- kalau perlu dosis bolus yang diikuti dengan "tapering off",
- sebagai pelengkap obat bronkodilator.
Bentuk aerosol akan mengurangi efek sistemik dan dapat mengurangi
dosis per-oral. Komplikasi dari pemakaian bentuk
aerosol adalah infeksi candida.
5. Bahan-bahan lain.
Oksigen adalah penting pada penanggulangan asma akut
dan harus dilembabkan dulu sebelum diberikan.
Ekspektorans, dapat membantu mempercepat pengeluaran
mukus. Jenis yang paling banyak dipakai adalah jodida dan
gliserol guaiakolat. Preparat jodida dilarang diberikan pada
wanita hamil.
Bahan mukolitik seperti asetil-sistein dapat diberikan
untuk membantu mencairkan mukus yang kental dan liat.
Cairan perlu diberikan dengan cukup. Dehidrasi banyak
terjadi melalui respirasi, meningkatnya kerja pernapasan dan
mengurangnya jumlah cairan yang masuk.
Pemberian obat golongan sedatif merupakan kontraindikasi
pada status asmatikus, sedangkan antihistamin dapat
mengeringkan selaput lendir saluran napas.

C. Imunoterapi atau desensitisasi.
Pemberian terapi desensitisasi pada penderita yang alergik
terhadap alergen inhalan sering dilakukan bila alergen tadi
tidak dapat dihindarkan, serta menimbulkan penyakit yang
serius dan cara pengobatan lain tidak menolong. Pemeriksaan
tes kulit akan menyokong anamnesis bahwa penderita, alergik
terhadap alergen yang spesifik.
Masuknya alergen inhalan kedalam tubuh akan merangsang
sistem imun humoral untuk membentuk IgE yang spesifik
terhadap alergen tadi. IgE ini kemudian akan menempel pada
permukaan basofil atau mastosit. Pada kontak selanjutnya
dengan alergen akan terjadi reaksi antara alergen dengan IgE,
sehingga dilepaskan bahan bahan mediator kimiawi seperti
histamin, SRS—A dan lain lain oleh mastosit dan basofil yang
menyebabkan terjadi gejala-gejala reaksi alergi tipe I antara
lain asma alergik.
Mengenai mekanisme terapi desensitisasi pada dasarnya
yaitu menyuntikkan ekstrak alergen dengan dosis yang dinaikkan
sedikit demi sedikit yang selanjutnya akan merangsang
sistem imun humoral dan membentuk "IgG blocking antibodies".
Bila suntikan ini diberikan secara teratur maka titer
"IgG blocking antibodies" di dalam serum penderita akan
meninggi.
Bila penderita berhubungan lagi dengan alergen inhalan
selanjutnya akan terjadi reaksi antara "IgG blocking antibodies"
dengan alergen tadi sehingga reaksi alergen dengan
IgE dapat dicegah dan tidak terjadi pelepasan bahan mediator
seperti telah disebutkan di atas.
Tidak semua ekstrak alergen dapat diberikan untuk terapi
desensitisasi, karena prinsip pengobatan alergi, lebih baik
menghindari alergen penyebab.
Juga jenis alergen yang dipakai sangat terbatas seperti
tepungsari rumput, debu rumah dan D. pteronyssinus atau
D. farinae. Sedangkan alergen yang lain belum banyak dilaporkan
manfaatnya dan dalam hal alergen jamur bahkan mungkin
dapat membahayakan karena timbul reaksi alergi tipe III di
paru-paru.
Disamping imunoterapi, penghindaran terhadap alergen
masih tetap diperlukan dan bahkan kadang-kadang juga masih
diperlukan obat-obatan.
Ditemukan bukti-bukti, pemberian terapi desensitisasi pada
penderita rinitis alergik dapat mencegah terjadinya asma
alergik. Juga akan terjadi peningkatan "IgG blocking antibodies"
dan menurunnya sensitivitas mastosit dan basofil
terhadap alergen yang diberikan.

KEPUSTAKAAN
1.Elliot F Ellis, MD. The Thin line of asthma therapy. Emergency
Med 1981.
2. Karnen Baratawidjaja dkk. Aminophylline pada pengobatan asthma
bronkial KOPARDI V, Medan, 1978.
3. Rubin JM, Weiss NS. Hyposensitization therapy. In: practical point
in Allergy. Med Exam Publishing Co 1974 ; 67.
4.Asthma and the other Allergic diseases. Niaid task force report.
NIH Publication 1979 ; No. 79 - 387.


Sumber artikel ini (tanpa pengubahan isi) : www.kalbe.co.id/files/.../07AsmaBronikal021.../07AsmaBronikal021...

Tambahan referensi atsma (buku pedoman asma dari dinas kesehatan) :  download

Selasa, 07 Februari 2012

ISPA (infeksi saluran pernafasan akut)

Gambar 2.2.1. Anatomi Saluran Pernafasan Berdasarkan Lokasi Anatomik
2.1. Definisi ISPA9,10
TINJAUAN PUSTAKA

Menurut DepKes RI (1998) Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan

dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan

berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ yang

dimulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga

telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14

hari.
Dengan demikian ISPA adalah infeksi salluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14

hari, dimana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi   yang   terjadi  di 

setiap   bagian  saluran   pernafasan  atau   struktur   yang berhubungan dengan saluran

pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk

menunjukkan berlansungya proses akut.
Menurut Corwin (2001), infeksi saluran pernafasan akut adalah infeksi yang disebabkan oleh

mikroorganisme termasuk common cold, faringitis, radang tenggorokan, dan laringitis.



2.2. Klasifikasi ISPA4

2.2.1. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Lokasi Anatomi

Berdasarkan lokasi anatomik ISPA digolongkan dalam dua golongan yaitu : Infeksi Saluran

Pernafasan atas Akut (ISPaA) dan Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA).

a.   Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)

Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) adalah  infeksi yang menyerang hidung  sampai 

bagian  faring  seperti :  pilek,  sinusitis,  otitis  media  (infeksi pada telinga

tengah), faringitis (infeksi pada tenggorokan). Infeksi saluran pernafasan atas digolongkan

ke dalam penyakit bukan pneumonia.
b.  Infeksi Saluran pernafasan bawah Akut (ISPbA)

Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPaA) adalah   infeksi yang menyerang  mulai dari

bagian epiglotis atau laring sanpai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran

nafas, seperti : epiglotitis, laryngitis, laryngotrachetis, bronchitis, bronchiolitis dan

pneumonia.


2.2.2.   Klasifikasi ISPA Berdasarkan Kelompok Umur11

Program  Pemberantasan  ISPA  (P2  ISPA)  mengklasifikasi  ISPA  sebagai berikut :
a.         Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas :

a.1.      Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya penarikan yang kuat

pada  dinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya nafas cepat, frekuensi nafas  60 kali

per menit atau lebih.
a.2.      Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) : bila tidak ditemukan tanda tarikan yang

kuat dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat, frekuensi nafas kurang

dari 60 kali per menit.
b.        Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan atas :

b.1.      Pneumonia  berat  :  Apabila  dalam  pemeriksaan  ditemukan  adanya  tarikan

dinding dada bagian bawah kedalam.
b.2.      Pneumonia : tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, adanya nafas

cepat, frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2 – <12 bulan dan 40 kali per menit

atau lebih pada umur 12 bulan – <5 tahun.
b.3.      Bukan pneumonia : tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, tidak ada

nafas cepat, frekuensi nafas kurang dari 50 kali per menit pada anak umur 2  – <12 bulan

dan kurang dari 40 kali permenit 12 bulan – <5 tahun.

2.3. Infectious Agent5,12,13
Infectious ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab

ISPA antara lain adalah dari genus Strepcococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemophylus,

Bordetella, dan Corynebakterium. Virus penyebab ISPA terbesar   adalah virus pernafasan

antara lain adalah group   Mixovirus (Orthomyxovirus ; sug group Influenza virus,

Paramyxovirus ; sug group Para Influenza virus dan Metamixovirus; sub group Rerpiratory

sincytial virus/RS-virus), Adenovirus, Picornavirus, Coronavirus, Mixoplasma, Herpesvirus.

Jamur Penyebab ISPA antara lain Aspergilus SP, Candida albicans, Histoplasma. Selain itu

ISPA juga dapat disebabkan oleh karena aspirasi : makanan, Asap kendaraan bermotor, BBM

(Bahan Bakar Minyak) biasanya minyak tanah, benda asing (biji-bijian).



2.4. Cara Penularan Penyakit ISPA12,14
Bibit penyakit ISPA berupa jasad renik ditularkan melalaui udara. Jasad renik yang berada

di udara akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan dan menimbulkan infeksi,

penyakit ISPA dapat pula berasal dari penderita yang kebetulan mengandung bibit penyakit,

baik yang sedang jatuh sakit maupun karier. Jika jasad renik bersal dari tubuh manusia maka

umumnya dikeluarkan melalui sekresi saluran pernafasan dapat  berupa saliva dan sputum.

Penularan juga dapat  terjadi melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah

dicemari jasad renik (hand to hand transmission).Oleh Karena salah satu penularan melalui

udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan , maka penyakit

ISPA termasuk golongan Air Borne Diseases.



2.5. Tanda dan Gejala ISPA 11
Penyakit ISPA pada anak dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk,

kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam.

2.5.1. Gejala dari ISPA Ringan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-

gejala sebagai berikut :
a.   Batuk

b.   Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu

berbicara atau menangis)
c.   Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung d.   Panas atau demam, suhu

badan lebih dari 370C

2.5.2. Gejala dari ISPA Sedang
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan

disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :

a.   Pernafasan cepat (fast breating) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur kurang dari 2

bulan  frekuensi nafas  60 kali per menit atau lebih dan  kelompok umur 2 bulan - <5 tahun

:  frekuensi nafas 50 kali atau lebih untuk  umur 2 – <12 bulan dan 40 kali per menit atau

lebih pada umur 12 bulan – <5 tahun.
b.   Suhu lebih dari 390C (diukur dengan termometer)
c.   Tenggorokan berwarna merah
d.   Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e.   Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f.   Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)

2.5.3. Gejala dari ISPA Berat
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejal-gejala ISPA ringan atau

ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :

a.   Bibir atau kulit membiru
b.   Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c.   Pernafasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah d.   Sela iga tertarik

kedalam pada waktu bernafas
e.   Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba f.   Tenggorokan berwarna

merah

2.6. Epidemiologi Penyakit ISPA

2.6.1. Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPA
Epidemiologi penyakit ISPA yaitu mempelajari frekuensi, distribusi penyakit ISPA serta

Faktor-faktor (determinan) yang mempengaruhinya. Dalam distribusi penyakit ISPA ada 3 ciri

variabel yang dapat dilihat yaitu variabel orang (person), variabel tempat (place), dan

variabel waktu (time).

a. Menurut Orang (person)
ISPA merupakan penyakit  yang sering terjadi pada anak-anak. Daya ahan tubuh anak sangat

berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila di dalam

satu rumah ada anggota keluarga terkena pilek, anak- anak  akan lebih  mudah tertular.

Dengan kondisi anak  yang  masih  lemah, proses penyebaran penyakit menjadi lebih cepat.

ISPA merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita di Indonesia. Menurut para ahli

hampir semua kematian ISPA pada bayi dan balita umumya disebabkan oleh ISPA bawah. Infeksi

Saluran Pernafasan atas  Akut  (ISPaA)  mengakibatkan kematian pada  anak  dalam  jumlah

kecil, tetapi menyebabkan kecacatan seperti otitis media yang merupakan penyebab ketulian

sehingga dapat mengganggu aktifitas belajar pada anak.

Berdasarkan data SKRT 2001, menunjukkan bahwa proporsi ISPA sebagai penyebab kematian bayi

< 1 tahun adalah 27,6% sedangkan proporsi ISPA sebagai penyebab kematian anak balita 

22,68%. 5
Hasil survei program P2ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan

Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara  Timur,  dan  Nusa

 Tenggara  Barat)  selama  kurun  waktu  2000-2002 prevalensi ISPA terlihat berfluktuasi,

tahun 2000 prevalensi sebesar 30,1% (479.283 kasus),    tahun 2001  prevalensi    sebesar 

22,6%  (620.147  kasus)  dan tahun 2002 pervalensi menjadi 22,1% (532.742 kasus)

b. Menurut Tempat (place)
ISPA  masih  merupakan  masalah  kesehatan  baik  di  negara  maju  maupun negara 

berkembang.  Dalam  satu  tahun  rata-rata seorang  anak  di pedesaan  dapat terserang ISPA

tiga kali, sedangkan daerah perkotaan sampai enam kali.17
Dari pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan ISPA di kota cenderung

lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat  kepadatan tempat 

tinggal dan pencemaran  lingkungan di kota yang  lebih tinggi daripada di desa.13

c. Menurut Waktu (time)
Berdasarkan Data SKRT (1986-2001), bahwa proporsi kematian karena ISPA di Indonesia pada

bayi dan balita menunjukkan penurunan dan peningkatan yaitu pada bayi pada tahun 1986

dengan PMR 18,85%, tahun 1992 PMR 36,40%, tahun 1995 PMR 32,10% dan tahun 2001 PMR 27,60%.

Sementara  pada balita pada tahun1986 PMR 22,80%, tahun 1992 PMR 18,20%, tahun 1995 PMR

38,80% dan tahun 2001 PMR 22,80%.5

2.6.2. Determinan Penyakit ISPA
a. Faktor Agent (Bibit Penyakit)
Proses  terjadinya  penyakit  disebabkan  adanya  interaksi  antara  agent  atau faktor

penyebab penyakit, manusia sebagai pejamu atau host dan faktor lingkungan yang   mendukung 

(environment).   Ketiga   faktor  tersebut   dikenal  sebagai  trias penyebab penyakit. 

Berat  ringannya penyakit  yang  dialami amat  ditentukan oleh sifat-  sifat  dari

mikroorganisme sebagai penyebab penyakit  seperti :  patogenitas, virulensi, antigenitas,

dan infektivitas. 15
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut  (ISPaA) seperti Faringitis dan Tonsilitis akut  

dapat disebabkan oleh karena infeksi  virus, bakteri ataupun jamur. Setengah dari infeksi

ini disebabkan oleh virus yakni virus influenza, parainfluenza, adeno virus, respiratory

sincytial virus dan rhino virus.18

b. Faktor Host (Pejamu)

b.1. Umur
Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab  itu  kejadian 

ISPA  pada  bayi  dan  anak  balita  akan  lebih  tinggi  jika dibandingkan dengan orang

dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat

dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan anak balita umumnya merupakan

kejadian infeksi pertama serta belum  terbentuknya  secara  optimal  proses  kekebalan 

secara  alamiah.  Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang  lebih

optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya.12
Hasil survei kesehatan Rumah tangga (SKRT) tahun 1992 menunjukkan prevalensi ISPA untuk

bayi 42,4% dan anak umur 1-4 tahun 40,6% sedangkan Case Spesific Death Rate (CSDR)  karena

ISPA pada bayi 21% dan untuk anak 1-4 tahun
35%.19

b.2. Jenis Kelamin
Berdasarka hasil penelitian dari berbagai negara termsuk Indonesia dan berbagai publikasi

ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA adalah anak dengan

jenis kelamin laki-laki. 5
Berdasarkan hasil penelitian Ruli Handayani Kota Palembang Tahun 2004, dengan desain

Prospectice Cohort Study  berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara

jenis kelamin dengan kejadian gangguan saluran pernafasan diperoleh p value = 0,089 dan

diperoleh   nilai Relative Risk (RR) 1,77 (CI 95% :
1,162-2,716)  artinya  risiko  anak  laki-laki  terkena  gangguan  saluran  pernafasan

sebesar 1,77 dibandingkan dengan anak perempuan.20

b.3. Status Gizi
Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak adalah makanan dan penyakit infeksi

yang mungkin diderita oleh anak. Anak yang mendapat makanan baik  tetapi  sering  diserang 

penyakit  infeksi  dapat  berpengaruh  terhadap  status gizinya. Begitu juga sebaliknya

anak yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya

mempengaruhi status gizinya. Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan berhubungan

dengan tingginya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi.21
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya penyakit

infeksi. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan

diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan

menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi

turun. Oleh karena itu, setiap bentuk  gangguan gizi sekalipun dengan gejala  defisiensi

yang  ringan  merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit

infeksi. 22

Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan

desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara

status gizi anak balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai  p = 0,001 dan Ratio Prevalens

5,980 (CI 95%; 2,090-17,111). Artinya balita yang mempunyai status gizi tidak baik

merupakan  faktor resiko untuk  terjadinya ISPA. 23 b.4. Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang kurang dari 2500

gram.24    BBLR membawa akibat bagi bayi berupa : daya tahan terhadap  penyakit  infeksi 

rendah,  pertumbuhan  dan  perkembangan  tubuh  lebih lamban, tingkat kematian lebih tinggi

dibanding bayi yang lahir dengan berat badan cukup. 22
Bayi dengan BBLR  sering mengalami penyakit gangguan pernafasan, hal ini disebabkan oleh

pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot pernafasan yang masih

lemah.24

b.5. Status ASI Eksklusif
ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan sehat serta

praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk

tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan). ASI Eksklusif adalah pemberian ASI

saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan makanan/cairan lain.26
ASI  mengandung  gizi  yang  cukup  lengkap  dan  mengandung  imun  untuk kekebalan   tubuh

bayi.   Keunggulan   lainnya,   ASI   disesuaikan   dengan   sistem pencernaan bayi

sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang

diberikan secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehinnga dapat

menyebabkan susah buang air  besar pada bayi.
Proses pembuatan susu formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal

ini akan menjadi pemicu terjadinya kur ang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi  anak

lebih mudah terserang penyakit infeksi. 26
Berdasarkan hasil penelitian Agustama (2008) di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang

(2005) dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara status ASI

eksklusif dengan penyakit  ISPA diperoleh nilai p=0,000, Ratio Prevalens  0,2  (di  Kota 

Medan)  sedangkan  di  Kabupaten  deli  Serdang  RP=0,5. Artinya ASI Eksklusif bukan

merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA. 27

b.6. Status Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang diimunisasi

berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam imunologi, kuman atau

racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Imunisasi merupakan upaya pemberian ketahanan

tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi.28
Imunisasi  bermamfaat  untuk  mencegah  beberapa  jenis  penyakit  infeksi seperti, Polio,

TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat  mencegah 

kematian  dari  akibat  penyakit-penyakit  tersebut. Sebagian  besar kasus ISPA merupakan

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat

dicegah dengan imunisasi adalah difteri, dan batuk rejan.
Anak balita yang telah memperoleh imunisasi yang lengkap sesuai dengan umurnya otomatis

sudah memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu maka jika ada kuman yang masuk

ketubuhnya secara langsung tubuh akan membentuk antibodi terhadap kuman tersebut.28
Berdasarkan penelitian Munjiah di Kecamatan Inderalaya Kabupaten Ogan Komering Ilir

Sumatera Selatan (2002) dengan desain case control, berdasarkan analisis bivariat

menunjukkan ada hubungan  antara status imunisasi dengan penyakit ISPA diperoleh p = 0,047

dan OR 3,67 (CI 95%; 0,596-14,070) yang berarti bayi dan balita yang mempunyai status

imunisasi tidak lengkap kemungkinan untuk mendapatkan penyakit gangguan saluran pernafasan

3,67 kali dibandingkan dengan bayi dan balita dengan status imunisasi lengkap.25

c. Faktor Lingkungan (Environment)

c.1. Kepadatan Hunian Ruang Tidur
Berdasarkan KepMenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa

luas ruang tidur minimal 8m2    dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur

dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Bangunan   yang   sempit   dan  

tidak   sesuai   dengan   jumlah   penghuninya   akan mempunyai dampak kurangnya oksigen

didalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit

saluran pernafasan seperti ISPA.29
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan

meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan

meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin

banyak jumlah penghuni ruangan tidur  maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran

gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan

diikuti oleh peningkatan CO2 ruangan dan dampak peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan

kualitas udara dalam ruangan.29
Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan

desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara

kepadatan hunian ruang tidur anak balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai  p = 0,004

dan Ratio Prevalens 4,930 (CI 95%; 1,682-14,451). Artinya balita yang tinggal dalam rumah

dengan padat penghuni merupakan   faktor resiko
untuk  terjadinya ISPA. 23

c.2. Penggunaan Anti Nyamuk Bakar
Penggunaan  anti nyamuk  sebagai alat  untuk  menghindari gigitan  nyamuk dapat menyebabkan

gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak  sedap.   Adanya 

pencemaran  udara  di  lingkungan  rumah  akan  merusak mekanisme pertahanan paru-paru

sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.
Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan

desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara

Pemakaian anti nyamuk bakar dengan penyakit ISPA pada anak balita diperoleh nilai  p =

0,000 dan Ratio Prevalens 4,930 (CI 95%; 1,342-16,115). Artinya balita yang tinggal dalam

rumah yang  menggunakan obat  nyamuk  bakar merupakan  faktor resiko untuk terjadinya

ISPA.23

c.3. Bahan Bakar Untuk Memasak
ISPA merupakan penyakit yang paling banyak di derita anak-anak. Salah satu penyebab ISPA

adalah pencemaran kualitas udara di dalam ruangan seperti pembakaran bahan bakar yang

digunakan untuk memasak dan asap rokok.
Berdasarkan penelitian Safwan di puskesmas  Alai  Kota Padang  Sumatera Barat  (2003),

dengan menggunakan desain case control, berdasarkan analisis bivariat hubungan bahan bakar

minyak tanah/kayu bakar dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,012 dan Odds

Ratio 2,24 (CI 95%; 1,221-4,089). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan

hunian ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita. Niali OR sebesar 2,24 artinya   balita

yang dirumahnya menggunakan  bahan  bakar  minyak  tanah/kayu  bakar  berpeluang  menderita

ISPA sebesar   2,24   kali   lebih   banyak   dibanding   dengan   balita   yang  

dirumahnya menggunakan bahan bakar gas.30

c.4. Keberadaan Perokok

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari

4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO),

Polycyclic Aromatic Hidrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono

dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di

Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002   penduduk.   Prevalensi   perokok   pasif  

pada   laki-laki   32,67%   atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau

65.680.814 penduduk. Sedangkan perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah

sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%.
Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5 %, pada kelompok umur 5-9 tahun  sebesar 

70,6%  dan  kelompok  umur  muda  10-14  tahun  sebesar  70,5%. Tingginya prevalensi

perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan karena mereka masih tinggal serumah

dengan orangtua ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah. 31
Berdasarkan penelitian Safwan di puskesmas  Alai  Kota Padang  Sumatera Barat  (2003),

dengan menggunakan desain case control, berdasarkan analisis bivariat hubungan kebiasaan

perokok dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,031  dan  OR  1,81  (CI 

95%;  1,085-2,996).  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  ada hubungan antara kepadatan hunian

ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita. OR 1,81 artinya balita yang tinggal dirumah

yang anggota keluarganya mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah berpeluang menderita ISPA

sebesar 1,81 kali lebih banyak dibanding dengan balita yang anggota keluarganya tidak

merokok didalam rumah.30



2.7. Pencegahan Penyakit ISPA11,15

2.7.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan (health promotion)

dan pencegahan khusus (spesific protection) terhadap penyakit tertentu.Termasuk disini

adalah :
a.   Penyuluhan,  dilakukan oleh tenaga  kesehatan dimana kegiatan  ini diharapkan dapat

mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor

resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit  ISPA,

penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak,

penyuluhan kesehatan lingku ngan, penyuluhan bahaya rokok.
b.   Imunisasi,  yang  merupakan  strategi  spesifik  untuk  dapat  mengurangi  angka

kesakitan ISPA
c.   Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi mal nutrisi.
d.   Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
e.   Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP)  yang  menangani masalah polusi di dalam

maupun di luar rumah.

2.7.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)14
Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan dan diagnosis sedini mungkin.

Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, seorang balita keadaan penyakitnya termasuk dalam

klasifikasi bukan pneumonia apabila ditandai dengan batuk, serak, pilek, panas atau demam

(suhu tubuh lebih dari 370C), maka dianjurkan untuk segera diberi pengobatan.
Upaya  pengobatan  yang  dilakukan  terhadap  klasifikasi ISPaA  atau  bukan pneumonia 

adalah  tanpa  pemberian  obat  antibiotik  dan  diiberikan  perawatan  di rumah. Adapun

beberapa hal yang perlu dilakukan ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA adalah :

a)  Mengatasi panas (demam)
Untuk balita, demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres dengan

menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
b)  Pemberian makanan dan minuman
Memberikan makanan yang cukup tinggi gizi sedikit-sedikit tetapi sering., memberi ASI lebih

sering.  Usahakan memberikan cairan (air put ih, air buah) lebih banyak dari biasanya.

2.7.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention) 4
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada  balita yang bukan pneumonia agar tidak menjadi

lebih parah (pneumonia) dan mengakibatkan kecacatan (pneumonia berat) dan  berakhir dengan

kematian.
Upaya yang dapat dilakukan pada pencegahan Penyakit  bukan pneumonia pada bayi dan balita

yaitu perhatikan apabila timbul gejala pneumonia seperti nafas menjadi sesak, anak tidak

mampu minum dan sakit menjadi bertambah parah, agar tidak bertambah parah bawalah anak

kembali pada petugas kesehatan dan pemberian perawatan yang spesifik di rumah dengan

memperhatikan asupan gizi   dan lebih sering memberikan ASI.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More