1.6.1. Definisi Asma Bronkiale
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan
berarti serangan nafas pendek25). Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan
tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai
berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari
(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat
asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan1).
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas
dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada
tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari3). Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang
sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan,
inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan.
1.6.2. Patofisiologi Asma
Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus25). Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas menyempit
pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obtruksi
terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernafas pada volume yang tinggi
mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran
nafas tetap terbuka dan pertukaaran gas berjalan lancar.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat dinilai secara obyektif
dengan Volume Ekspirasi Paksa (VEP) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE).
Sedangkan penurunan Kapasitas Vital Paksa (KVP) menggambarkan derajat
hiperinflasi paru. Penyempitan saluran nafas dapat terjadi baik pada di saluran nafas
yang besar, sedang maupun yang kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan
di saluran nafas besar.
Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh
bronkokontriksi, hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan
deskuamasi sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan
nonspesifik, akan adanya jalan nafas yang hiperaktif, mencetuskan respon
bronkokontriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi alergen yang dihirup (tungau
debu, tepungsari, sari kedelai, dan protein minyak jarak), protein sayuran lainnya,
infeksi virus, asap rokok, polutan udara, bau busuk, obat-obatan (metabisulfit), udara
dingin, dan olah raga26).
Patologi asma berat adalah bronkokontriksi, hipertrofi otot polos bronkus,
hipertropi kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi sel radang (eosinofil, neutrofil,
basofil, makrofag), dan deskuamasi. Tanda-tanda patognomosis adalah krisis kristal
Charcot-leyden (lisofosfolipase membran eosinofil), spiral Cursch-mann (silinder
mukosa bronkiale), dan benda-benda Creola (sel epitel terkelupas).
Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena jalan nafas
intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Penyumbatan jalan nafas
difus, penyumbatan ini tidak seragam di seluruh paru. Atelektasis segmental atau
subsegmental dapat terjadi, memperburuk ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
Hiperventilasi menyebabkan penurunan kelenturan, dengan akibat kerja pernafasan
bertambah. Kenaikan tekanan transpulmuner yang diperlukan untuk ekspirasi melalui
jalan nafas yang tersumbat, dapat menyebabkan penyempitan lebih lanjut, atau
penutupan dini (prematur) beberapa jalan nafas total selama ekspirasi, dengan
demikian menaikkan risiko pneumotoraks.
1.6.3. Epidemiologi Asma
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada
umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya
muncul sebelum umur 4-5 tahun26). Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang
hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah ditangani.
Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang
terus menerus dari pada yang musiman. Hal tersebut yang menjadikannya tidak
mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari
hari ke hari.
Asma sudah dikenal sejak lama, tetapi prevalensi asma tinggi. Di Australia
prevalensi asma usia 8-11 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat menjadi
29,7% pada tahun 199227). Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi
antara 3%-8%, penelitian di Menado, Pelembang, Ujung Pandang, dan Yogyakarta
memberikan angka berturut-turut 7,99%; 8,08%; 17% dan 4,8%29).
Penelitian epidemiologi asma juga dilakukan pada siswa SLTP di beberapa
tempat di Indonesia, antara lain: di Palembang, dimana prevalensi asma sebesar
7,4%; di Jakarta prevalensi asma sebesar 5,7% dan di Bandung prevalensi asma
sebesar 6,7%9). Belum dapat disimpulkan kecenderungan perubahan prevalensi
berdasarkan bertambahnya usia karena sedikitnya penelitian dengan sasaran siswa
SLTP, namun tampak terjadinya penurunan (outgrow) prevalensi asma sebanding
dengan bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang
menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika dibandingkan
dengan prevalensi asma pada anak9, 30).
1.6.4. Etiologi Asma
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom,
imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada berbagai
individu26). Aktivitas bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik
sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor
batuk atau iritan, tergantung pada lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang
aferens, yang pada ujung eferens merangsang kontraksi otot polos bronkus.
Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos
bronkus. Neurotramnisi peptida vasoaktif merupakan suatu neuropeptida dominan
yang dilibatkan pada terbukanya jalan nafas.
Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah
pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan ketombe.
Bentuk asma inilah yang paling sering ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan pada
orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut intrinsik.
Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya dengan
kehamilan dan mentruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma membaik pada
beberapa anak saat pubertas. Faktor psikologis emosi dapat memicu gejala-gejala
pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifatsifat
perilaku yang dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak dengan
penyakit kronis lainnya.
1.6.5. Diagnosis Asma
Penegakan diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, tanda-tanda klinik dan
pemeriksaan tambahan40).
1. Pemeriksaan anamnesis keluhan episodik batuk kronik berulang, mengi, sesak
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan
berarti serangan nafas pendek25). Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan
tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai
berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari
(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat
asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan1).
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas
dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada
tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari3). Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang
sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan,
inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan.
1.6.2. Patofisiologi Asma
Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus25). Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas menyempit
pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obtruksi
terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernafas pada volume yang tinggi
mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran
nafas tetap terbuka dan pertukaaran gas berjalan lancar.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat dinilai secara obyektif
dengan Volume Ekspirasi Paksa (VEP) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE).
Sedangkan penurunan Kapasitas Vital Paksa (KVP) menggambarkan derajat
hiperinflasi paru. Penyempitan saluran nafas dapat terjadi baik pada di saluran nafas
yang besar, sedang maupun yang kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan
di saluran nafas besar.
Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh
bronkokontriksi, hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan
deskuamasi sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan
nonspesifik, akan adanya jalan nafas yang hiperaktif, mencetuskan respon
bronkokontriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi alergen yang dihirup (tungau
debu, tepungsari, sari kedelai, dan protein minyak jarak), protein sayuran lainnya,
infeksi virus, asap rokok, polutan udara, bau busuk, obat-obatan (metabisulfit), udara
dingin, dan olah raga26).
Patologi asma berat adalah bronkokontriksi, hipertrofi otot polos bronkus,
hipertropi kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi sel radang (eosinofil, neutrofil,
basofil, makrofag), dan deskuamasi. Tanda-tanda patognomosis adalah krisis kristal
Charcot-leyden (lisofosfolipase membran eosinofil), spiral Cursch-mann (silinder
mukosa bronkiale), dan benda-benda Creola (sel epitel terkelupas).
Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena jalan nafas
intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Penyumbatan jalan nafas
difus, penyumbatan ini tidak seragam di seluruh paru. Atelektasis segmental atau
subsegmental dapat terjadi, memperburuk ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
Hiperventilasi menyebabkan penurunan kelenturan, dengan akibat kerja pernafasan
bertambah. Kenaikan tekanan transpulmuner yang diperlukan untuk ekspirasi melalui
jalan nafas yang tersumbat, dapat menyebabkan penyempitan lebih lanjut, atau
penutupan dini (prematur) beberapa jalan nafas total selama ekspirasi, dengan
demikian menaikkan risiko pneumotoraks.
1.6.3. Epidemiologi Asma
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada
umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya
muncul sebelum umur 4-5 tahun26). Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang
hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah ditangani.
Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang
terus menerus dari pada yang musiman. Hal tersebut yang menjadikannya tidak
mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari
hari ke hari.
Asma sudah dikenal sejak lama, tetapi prevalensi asma tinggi. Di Australia
prevalensi asma usia 8-11 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat menjadi
29,7% pada tahun 199227). Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi
antara 3%-8%, penelitian di Menado, Pelembang, Ujung Pandang, dan Yogyakarta
memberikan angka berturut-turut 7,99%; 8,08%; 17% dan 4,8%29).
Penelitian epidemiologi asma juga dilakukan pada siswa SLTP di beberapa
tempat di Indonesia, antara lain: di Palembang, dimana prevalensi asma sebesar
7,4%; di Jakarta prevalensi asma sebesar 5,7% dan di Bandung prevalensi asma
sebesar 6,7%9). Belum dapat disimpulkan kecenderungan perubahan prevalensi
berdasarkan bertambahnya usia karena sedikitnya penelitian dengan sasaran siswa
SLTP, namun tampak terjadinya penurunan (outgrow) prevalensi asma sebanding
dengan bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang
menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika dibandingkan
dengan prevalensi asma pada anak9, 30).
1.6.4. Etiologi Asma
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom,
imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada berbagai
individu26). Aktivitas bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik
sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor
batuk atau iritan, tergantung pada lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang
aferens, yang pada ujung eferens merangsang kontraksi otot polos bronkus.
Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos
bronkus. Neurotramnisi peptida vasoaktif merupakan suatu neuropeptida dominan
yang dilibatkan pada terbukanya jalan nafas.
Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah
pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan ketombe.
Bentuk asma inilah yang paling sering ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan pada
orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut intrinsik.
Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya dengan
kehamilan dan mentruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma membaik pada
beberapa anak saat pubertas. Faktor psikologis emosi dapat memicu gejala-gejala
pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifatsifat
perilaku yang dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak dengan
penyakit kronis lainnya.
1.6.5. Diagnosis Asma
Penegakan diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, tanda-tanda klinik dan
pemeriksaan tambahan40).
1. Pemeriksaan anamnesis keluhan episodik batuk kronik berulang, mengi, sesak
dada, kesulitan bernafas,
2. Faktor pencetus (inciter) dapat berupa iritan (debu), pendinginan saluran nafas,
alergen dan emosi, sedangkan perangsang (inducer) berupa kimia, infeksi dan
alergen.
3. Pemeriksaan fisik sesak nafas (dyspnea), mengi, nafas cuping hidung pada saat
inspirasi (anak), bicara terputus putus, agitasi, hiperinflasi toraks, lebih suka
posisi duduk. Tanda-tanda lain sianosis, ngantuk, susah bicara, takikardia dan
hiperinflasi torak,
4. Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian metakolin atau
bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat membantu menegakkan
diagnosis asma26).
Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah umur 3 tahun. Untuk anak yang
sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru
yang sederhana dengan peak flow meter atau yang lebih lengkap dengan spirometer,
uji yang lain dapat melalui provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan
(exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis. Penggunaan peak
flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung
diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma, selain itu dapat juga
menggunakan lembar catatan harian sebagai alternatif 41).
1.6.6. Klasifikasi Berdasarkan Berat Penyakit
Klasifikasi asma yaitu31).
1. Asma ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena
reaksi alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa
terhadap orang yang sehat.
2. Asma intrinsik
Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang
berasal dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kodisi lingkungan
yang buruk seperti klembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang
berlebihan.
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma
berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:
1. Asma Intermiten (asma jarang)
- gejala kurang dari seminggu
- serangan singkat
- gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
- FEV 1 atau PEV > 80%
- PEF atau FEV 1 variabilitas 20% – 30%
2. Asma mild persistent (asma persisten ringan)
- gejala lebih dari sekali seminggu
- serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
- FEV 1 atau PEV > 80%
- PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% – 30%
3. Asma moderate persistent (asma persisten sedang)
- gejala setiap hari
- serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu
- FEV 1 tau PEV 60% – 80%
- PEF atau FEV 1 variabilitas > 30%
4. Asma severe persistent (asma persisten berat)
- gejala setiap hari
- serangan terus menerus
- gejala pada malam hari setiap hari
- terjadi pembatasan aktivitas fisik
- FEV 1 atau PEF = 60%
- PEF atau FEV variabilitas > 30%
Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat diklasifikasikan
berdasarkan derajat serangan asma yaitu:
1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat,
bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi,
2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat,
lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan
kadang -kadang terdengar pada saat inspirasi,
3. Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi duduk
bertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat
nyaring terdengar tanpa stetoskop,
4. Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingunan, sudah tidak
terdengar mengi dan timbul bradikardi.
Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan asma.
Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan asma
ringan. Sedangkan asma ringan dapat mengalami serangan asma berat, bahkan
serangan asma berat yang mengancam terjadi henti nafas yang dapat menyebabkan
kematian3).
1.6.7. Faktor-faktor Risiko Asma Bronkiale
Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor
risiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor
risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan asma yang
disebut trigger faktor atau faktor pencetus3). Adapun faktor risiko pencetus asma
bronkial yaitu32):
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga
2. Faktor pencetus (inciter) dapat berupa iritan (debu), pendinginan saluran nafas,
alergen dan emosi, sedangkan perangsang (inducer) berupa kimia, infeksi dan
alergen.
3. Pemeriksaan fisik sesak nafas (dyspnea), mengi, nafas cuping hidung pada saat
inspirasi (anak), bicara terputus putus, agitasi, hiperinflasi toraks, lebih suka
posisi duduk. Tanda-tanda lain sianosis, ngantuk, susah bicara, takikardia dan
hiperinflasi torak,
4. Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian metakolin atau
bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat membantu menegakkan
diagnosis asma26).
Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah umur 3 tahun. Untuk anak yang
sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru
yang sederhana dengan peak flow meter atau yang lebih lengkap dengan spirometer,
uji yang lain dapat melalui provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan
(exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis. Penggunaan peak
flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung
diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma, selain itu dapat juga
menggunakan lembar catatan harian sebagai alternatif 41).
1.6.6. Klasifikasi Berdasarkan Berat Penyakit
Klasifikasi asma yaitu31).
1. Asma ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena
reaksi alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa
terhadap orang yang sehat.
2. Asma intrinsik
Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang
berasal dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kodisi lingkungan
yang buruk seperti klembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang
berlebihan.
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma
berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:
1. Asma Intermiten (asma jarang)
- gejala kurang dari seminggu
- serangan singkat
- gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
- FEV 1 atau PEV > 80%
- PEF atau FEV 1 variabilitas 20% – 30%
2. Asma mild persistent (asma persisten ringan)
- gejala lebih dari sekali seminggu
- serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
- FEV 1 atau PEV > 80%
- PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% – 30%
3. Asma moderate persistent (asma persisten sedang)
- gejala setiap hari
- serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu
- FEV 1 tau PEV 60% – 80%
- PEF atau FEV 1 variabilitas > 30%
4. Asma severe persistent (asma persisten berat)
- gejala setiap hari
- serangan terus menerus
- gejala pada malam hari setiap hari
- terjadi pembatasan aktivitas fisik
- FEV 1 atau PEF = 60%
- PEF atau FEV variabilitas > 30%
Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat diklasifikasikan
berdasarkan derajat serangan asma yaitu:
1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat,
bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi,
2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat,
lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan
kadang -kadang terdengar pada saat inspirasi,
3. Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi duduk
bertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat
nyaring terdengar tanpa stetoskop,
4. Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingunan, sudah tidak
terdengar mengi dan timbul bradikardi.
Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan asma.
Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan asma
ringan. Sedangkan asma ringan dapat mengalami serangan asma berat, bahkan
serangan asma berat yang mengancam terjadi henti nafas yang dapat menyebabkan
kematian3).
1.6.7. Faktor-faktor Risiko Asma Bronkiale
Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor
risiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor
risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan asma yang
disebut trigger faktor atau faktor pencetus3). Adapun faktor risiko pencetus asma
bronkial yaitu32):
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga
Artikel diatas berasal dari : download pdf