Gambar 2.2.1. Anatomi Saluran Pernafasan Berdasarkan Lokasi Anatomik |
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut DepKes RI (1998) Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan
dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ yang
dimulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga
telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14
hari.
Dengan demikian ISPA adalah infeksi salluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14
hari, dimana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di
setiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan saluran
pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk
menunjukkan berlansungya proses akut.
Menurut Corwin (2001), infeksi saluran pernafasan akut adalah infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme termasuk common cold, faringitis, radang tenggorokan, dan laringitis.
2.2. Klasifikasi ISPA4
2.2.1. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Lokasi Anatomi
Berdasarkan lokasi anatomik ISPA digolongkan dalam dua golongan yaitu : Infeksi Saluran
Pernafasan atas Akut (ISPaA) dan Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA).
a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) adalah infeksi yang menyerang hidung sampai
bagian faring seperti : pilek, sinusitis, otitis media (infeksi pada telinga
tengah), faringitis (infeksi pada tenggorokan). Infeksi saluran pernafasan atas digolongkan
ke dalam penyakit bukan pneumonia.
b. Infeksi Saluran pernafasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPaA) adalah infeksi yang menyerang mulai dari
bagian epiglotis atau laring sanpai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran
nafas, seperti : epiglotitis, laryngitis, laryngotrachetis, bronchitis, bronchiolitis dan
pneumonia.
2.2.2. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Kelompok Umur11
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut :
a. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas :
a.1. Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya penarikan yang kuat
pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya nafas cepat, frekuensi nafas 60 kali
per menit atau lebih.
a.2. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) : bila tidak ditemukan tanda tarikan yang
kuat dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat, frekuensi nafas kurang
dari 60 kali per menit.
b. Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan atas :
b.1. Pneumonia berat : Apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam.
b.2. Pneumonia : tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, adanya nafas
cepat, frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2 – <12 bulan dan 40 kali per menit
atau lebih pada umur 12 bulan – <5 tahun.
b.3. Bukan pneumonia : tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, tidak ada
nafas cepat, frekuensi nafas kurang dari 50 kali per menit pada anak umur 2 – <12 bulan
dan kurang dari 40 kali permenit 12 bulan – <5 tahun.
2.3. Infectious Agent5,12,13
Infectious ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab
ISPA antara lain adalah dari genus Strepcococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemophylus,
Bordetella, dan Corynebakterium. Virus penyebab ISPA terbesar adalah virus pernafasan
antara lain adalah group Mixovirus (Orthomyxovirus ; sug group Influenza virus,
Paramyxovirus ; sug group Para Influenza virus dan Metamixovirus; sub group Rerpiratory
sincytial virus/RS-virus), Adenovirus, Picornavirus, Coronavirus, Mixoplasma, Herpesvirus.
Jamur Penyebab ISPA antara lain Aspergilus SP, Candida albicans, Histoplasma. Selain itu
ISPA juga dapat disebabkan oleh karena aspirasi : makanan, Asap kendaraan bermotor, BBM
(Bahan Bakar Minyak) biasanya minyak tanah, benda asing (biji-bijian).
2.4. Cara Penularan Penyakit ISPA12,14
Bibit penyakit ISPA berupa jasad renik ditularkan melalaui udara. Jasad renik yang berada
di udara akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan dan menimbulkan infeksi,
penyakit ISPA dapat pula berasal dari penderita yang kebetulan mengandung bibit penyakit,
baik yang sedang jatuh sakit maupun karier. Jika jasad renik bersal dari tubuh manusia maka
umumnya dikeluarkan melalui sekresi saluran pernafasan dapat berupa saliva dan sputum.
Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah
dicemari jasad renik (hand to hand transmission).Oleh Karena salah satu penularan melalui
udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan , maka penyakit
ISPA termasuk golongan Air Borne Diseases.
2.5. Tanda dan Gejala ISPA 11
Penyakit ISPA pada anak dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk,
kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam.
2.5.1. Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-
gejala sebagai berikut :
a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu
berbicara atau menangis)
c. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung d. Panas atau demam, suhu
badan lebih dari 370C
2.5.2. Gejala dari ISPA Sedang
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan
disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a. Pernafasan cepat (fast breating) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur kurang dari 2
bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan kelompok umur 2 bulan - <5 tahun
: frekuensi nafas 50 kali atau lebih untuk umur 2 – <12 bulan dan 40 kali per menit atau
lebih pada umur 12 bulan – <5 tahun.
b. Suhu lebih dari 390C (diukur dengan termometer)
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
2.5.3. Gejala dari ISPA Berat
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejal-gejala ISPA ringan atau
ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a. Bibir atau kulit membiru
b. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c. Pernafasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah d. Sela iga tertarik
kedalam pada waktu bernafas
e. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba f. Tenggorokan berwarna
merah
2.6. Epidemiologi Penyakit ISPA
2.6.1. Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPA
Epidemiologi penyakit ISPA yaitu mempelajari frekuensi, distribusi penyakit ISPA serta
Faktor-faktor (determinan) yang mempengaruhinya. Dalam distribusi penyakit ISPA ada 3 ciri
variabel yang dapat dilihat yaitu variabel orang (person), variabel tempat (place), dan
variabel waktu (time).
a. Menurut Orang (person)
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya ahan tubuh anak sangat
berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila di dalam
satu rumah ada anggota keluarga terkena pilek, anak- anak akan lebih mudah tertular.
Dengan kondisi anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit menjadi lebih cepat.
ISPA merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita di Indonesia. Menurut para ahli
hampir semua kematian ISPA pada bayi dan balita umumya disebabkan oleh ISPA bawah. Infeksi
Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah
kecil, tetapi menyebabkan kecacatan seperti otitis media yang merupakan penyebab ketulian
sehingga dapat mengganggu aktifitas belajar pada anak.
Berdasarkan data SKRT 2001, menunjukkan bahwa proporsi ISPA sebagai penyebab kematian bayi
< 1 tahun adalah 27,6% sedangkan proporsi ISPA sebagai penyebab kematian anak balita
22,68%. 5
Hasil survei program P2ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa
Tenggara Barat) selama kurun waktu 2000-2002 prevalensi ISPA terlihat berfluktuasi,
tahun 2000 prevalensi sebesar 30,1% (479.283 kasus), tahun 2001 prevalensi sebesar
22,6% (620.147 kasus) dan tahun 2002 pervalensi menjadi 22,1% (532.742 kasus)
b. Menurut Tempat (place)
ISPA masih merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara
berkembang. Dalam satu tahun rata-rata seorang anak di pedesaan dapat terserang ISPA
tiga kali, sedangkan daerah perkotaan sampai enam kali.17
Dari pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan ISPA di kota cenderung
lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat
tinggal dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi daripada di desa.13
c. Menurut Waktu (time)
Berdasarkan Data SKRT (1986-2001), bahwa proporsi kematian karena ISPA di Indonesia pada
bayi dan balita menunjukkan penurunan dan peningkatan yaitu pada bayi pada tahun 1986
dengan PMR 18,85%, tahun 1992 PMR 36,40%, tahun 1995 PMR 32,10% dan tahun 2001 PMR 27,60%.
Sementara pada balita pada tahun1986 PMR 22,80%, tahun 1992 PMR 18,20%, tahun 1995 PMR
38,80% dan tahun 2001 PMR 22,80%.5
2.6.2. Determinan Penyakit ISPA
a. Faktor Agent (Bibit Penyakit)
Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara agent atau faktor
penyebab penyakit, manusia sebagai pejamu atau host dan faktor lingkungan yang mendukung
(environment). Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai trias penyebab penyakit.
Berat ringannya penyakit yang dialami amat ditentukan oleh sifat- sifat dari
mikroorganisme sebagai penyebab penyakit seperti : patogenitas, virulensi, antigenitas,
dan infektivitas. 15
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) seperti Faringitis dan Tonsilitis akut
dapat disebabkan oleh karena infeksi virus, bakteri ataupun jamur. Setengah dari infeksi
ini disebabkan oleh virus yakni virus influenza, parainfluenza, adeno virus, respiratory
sincytial virus dan rhino virus.18
b. Faktor Host (Pejamu)
b.1. Umur
Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian
ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang
dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat
dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan anak balita umumnya merupakan
kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan
secara alamiah. Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih
optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya.12
Hasil survei kesehatan Rumah tangga (SKRT) tahun 1992 menunjukkan prevalensi ISPA untuk
bayi 42,4% dan anak umur 1-4 tahun 40,6% sedangkan Case Spesific Death Rate (CSDR) karena
ISPA pada bayi 21% dan untuk anak 1-4 tahun
35%.19
b.2. Jenis Kelamin
Berdasarka hasil penelitian dari berbagai negara termsuk Indonesia dan berbagai publikasi
ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA adalah anak dengan
jenis kelamin laki-laki. 5
Berdasarkan hasil penelitian Ruli Handayani Kota Palembang Tahun 2004, dengan desain
Prospectice Cohort Study berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara
jenis kelamin dengan kejadian gangguan saluran pernafasan diperoleh p value = 0,089 dan
diperoleh nilai Relative Risk (RR) 1,77 (CI 95% :
1,162-2,716) artinya risiko anak laki-laki terkena gangguan saluran pernafasan
sebesar 1,77 dibandingkan dengan anak perempuan.20
b.3. Status Gizi
Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak adalah makanan dan penyakit infeksi
yang mungkin diderita oleh anak. Anak yang mendapat makanan baik tetapi sering diserang
penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya
anak yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya
mempengaruhi status gizinya. Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan berhubungan
dengan tingginya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi.21
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya penyakit
infeksi. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan
diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan
menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi
turun. Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi
yang ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit
infeksi. 22
Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan
desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara
status gizi anak balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p = 0,001 dan Ratio Prevalens
5,980 (CI 95%; 2,090-17,111). Artinya balita yang mempunyai status gizi tidak baik
merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA. 23 b.4. Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang kurang dari 2500
gram.24 BBLR membawa akibat bagi bayi berupa : daya tahan terhadap penyakit infeksi
rendah, pertumbuhan dan perkembangan tubuh lebih lamban, tingkat kematian lebih tinggi
dibanding bayi yang lahir dengan berat badan cukup. 22
Bayi dengan BBLR sering mengalami penyakit gangguan pernafasan, hal ini disebabkan oleh
pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot pernafasan yang masih
lemah.24
b.5. Status ASI Eksklusif
ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan sehat serta
praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk
tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan). ASI Eksklusif adalah pemberian ASI
saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan makanan/cairan lain.26
ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan mengandung imun untuk kekebalan tubuh
bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi
sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang
diberikan secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehinnga dapat
menyebabkan susah buang air besar pada bayi.
Proses pembuatan susu formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal
ini akan menjadi pemicu terjadinya kur ang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak
lebih mudah terserang penyakit infeksi. 26
Berdasarkan hasil penelitian Agustama (2008) di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang
(2005) dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara status ASI
eksklusif dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p=0,000, Ratio Prevalens 0,2 (di Kota
Medan) sedangkan di Kabupaten deli Serdang RP=0,5. Artinya ASI Eksklusif bukan
merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA. 27
b.6. Status Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang diimunisasi
berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam imunologi, kuman atau
racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Imunisasi merupakan upaya pemberian ketahanan
tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi.28
Imunisasi bermamfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti, Polio,
TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah
kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat
dicegah dengan imunisasi adalah difteri, dan batuk rejan.
Anak balita yang telah memperoleh imunisasi yang lengkap sesuai dengan umurnya otomatis
sudah memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu maka jika ada kuman yang masuk
ketubuhnya secara langsung tubuh akan membentuk antibodi terhadap kuman tersebut.28
Berdasarkan penelitian Munjiah di Kecamatan Inderalaya Kabupaten Ogan Komering Ilir
Sumatera Selatan (2002) dengan desain case control, berdasarkan analisis bivariat
menunjukkan ada hubungan antara status imunisasi dengan penyakit ISPA diperoleh p = 0,047
dan OR 3,67 (CI 95%; 0,596-14,070) yang berarti bayi dan balita yang mempunyai status
imunisasi tidak lengkap kemungkinan untuk mendapatkan penyakit gangguan saluran pernafasan
3,67 kali dibandingkan dengan bayi dan balita dengan status imunisasi lengkap.25
c. Faktor Lingkungan (Environment)
c.1. Kepadatan Hunian Ruang Tidur
Berdasarkan KepMenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa
luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur
dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Bangunan yang sempit dan
tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen
didalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit
saluran pernafasan seperti ISPA.29
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan
meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan
meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin
banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran
gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan
diikuti oleh peningkatan CO2 ruangan dan dampak peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan
kualitas udara dalam ruangan.29
Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan
desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara
kepadatan hunian ruang tidur anak balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p = 0,004
dan Ratio Prevalens 4,930 (CI 95%; 1,682-14,451). Artinya balita yang tinggal dalam rumah
dengan padat penghuni merupakan faktor resiko
untuk terjadinya ISPA. 23
c.2. Penggunaan Anti Nyamuk Bakar
Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan
gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya
pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru
sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.
Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan
desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara
Pemakaian anti nyamuk bakar dengan penyakit ISPA pada anak balita diperoleh nilai p =
0,000 dan Ratio Prevalens 4,930 (CI 95%; 1,342-16,115). Artinya balita yang tinggal dalam
rumah yang menggunakan obat nyamuk bakar merupakan faktor resiko untuk terjadinya
ISPA.23
c.3. Bahan Bakar Untuk Memasak
ISPA merupakan penyakit yang paling banyak di derita anak-anak. Salah satu penyebab ISPA
adalah pencemaran kualitas udara di dalam ruangan seperti pembakaran bahan bakar yang
digunakan untuk memasak dan asap rokok.
Berdasarkan penelitian Safwan di puskesmas Alai Kota Padang Sumatera Barat (2003),
dengan menggunakan desain case control, berdasarkan analisis bivariat hubungan bahan bakar
minyak tanah/kayu bakar dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,012 dan Odds
Ratio 2,24 (CI 95%; 1,221-4,089). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan
hunian ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita. Niali OR sebesar 2,24 artinya balita
yang dirumahnya menggunakan bahan bakar minyak tanah/kayu bakar berpeluang menderita
ISPA sebesar 2,24 kali lebih banyak dibanding dengan balita yang
dirumahnya menggunakan bahan bakar gas.30
c.4. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari
4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO),
Polycyclic Aromatic Hidrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono
dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di
Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif
pada laki-laki 32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau
65.680.814 penduduk. Sedangkan perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah
sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%.
Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5 %, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar
70,6% dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5%. Tingginya prevalensi
perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan karena mereka masih tinggal serumah
dengan orangtua ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah. 31
Berdasarkan penelitian Safwan di puskesmas Alai Kota Padang Sumatera Barat (2003),
dengan menggunakan desain case control, berdasarkan analisis bivariat hubungan kebiasaan
perokok dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,031 dan OR 1,81 (CI
95%; 1,085-2,996). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian
ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita. OR 1,81 artinya balita yang tinggal dirumah
yang anggota keluarganya mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah berpeluang menderita ISPA
sebesar 1,81 kali lebih banyak dibanding dengan balita yang anggota keluarganya tidak
merokok didalam rumah.30
2.7. Pencegahan Penyakit ISPA11,15
2.7.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan (health promotion)
dan pencegahan khusus (spesific protection) terhadap penyakit tertentu.Termasuk disini
adalah :
a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan dapat
mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor
resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA,
penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak,
penyuluhan kesehatan lingku ngan, penyuluhan bahaya rokok.
b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka
kesakitan ISPA
c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi mal nutrisi.
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah polusi di dalam
maupun di luar rumah.
2.7.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)14
Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan dan diagnosis sedini mungkin.
Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, seorang balita keadaan penyakitnya termasuk dalam
klasifikasi bukan pneumonia apabila ditandai dengan batuk, serak, pilek, panas atau demam
(suhu tubuh lebih dari 370C), maka dianjurkan untuk segera diberi pengobatan.
Upaya pengobatan yang dilakukan terhadap klasifikasi ISPaA atau bukan pneumonia
adalah tanpa pemberian obat antibiotik dan diiberikan perawatan di rumah. Adapun
beberapa hal yang perlu dilakukan ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA adalah :
a) Mengatasi panas (demam)
Untuk balita, demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres dengan
menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
b) Pemberian makanan dan minuman
Memberikan makanan yang cukup tinggi gizi sedikit-sedikit tetapi sering., memberi ASI lebih
sering. Usahakan memberikan cairan (air put ih, air buah) lebih banyak dari biasanya.
2.7.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention) 4
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita yang bukan pneumonia agar tidak menjadi
lebih parah (pneumonia) dan mengakibatkan kecacatan (pneumonia berat) dan berakhir dengan
kematian.
Upaya yang dapat dilakukan pada pencegahan Penyakit bukan pneumonia pada bayi dan balita
yaitu perhatikan apabila timbul gejala pneumonia seperti nafas menjadi sesak, anak tidak
mampu minum dan sakit menjadi bertambah parah, agar tidak bertambah parah bawalah anak
kembali pada petugas kesehatan dan pemberian perawatan yang spesifik di rumah dengan
memperhatikan asupan gizi dan lebih sering memberikan ASI.
2 komentar:
I like this article
info yg sudah di share oke banget ka
daging bacon
Posting Komentar