Translate

Selasa, 27 September 2011

ASPEK NEUROFISIOLOGI GANGGUAN DEPRESI (kuliah ELS)

Pendahuluan
       Stres kronik juga dapat meningkatkan sintesis autoreseptor 5 HTIA di nukleus rafe dorsalis yang selanjutnya menurunkan transmisi serotonin. Dalam keadaan stres kronik, glukokortikoid akan meningkat dan cenderung meningkatkan fungsi serotonin, Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang lazim terdapat dalam populasi. Insidensi depresi terdapat sekitar 5 % dari populasi. Hanya sepertiga orang dengan gangguan depresi yang berobat, hal ini dikarenakan selain tidak terdeteksi oleh petugas kesehatan juga dikarenakan gangguan ini dianggap suatu defisiensi moral yang dirasa memalukan dan harus disembunyikan. Depresi merupakan satu bentuk gangguan mood  (gangguan afektif) dan lebih bersifat sindrom, yang terdiri dari sekumpulan gejala. Kumpulan gejala depresi adalah 1. gangguan vegetatif seperti tidur, nafsu makan, berat badan dan dorongan seksual; 2. gambaran kognitif, seperti  perhatian, toleransi terhadap frustrasi, memori, distorsi negatif;  3. kontrol impuls misalnya pembunuhan, bunuh diri; 4. gambaran perilaku, misalnya motivasi, perasaan senang, minat, kelelahan dan 5. gambaran fisik (somatik) misalnya nyeri kepala, nyeri perut dan tegang otot. (1,2).
          Beberapa faktor risiko terjadinya gangguan depresi berat diantaranya wanita dua kali dibanding pria, usia awitan 20-40 tahun, riwayat keluarga positif depresi berisiko 1,5 – 3 kali, status marital misalnya pasangan yang berpisah atau cerai, wanita yang kawin , pria yang tidak kawin dan wanita post partum (1)
            Pasien depresi yang tidak diobati memiliki konsekwensi biaya tersembunyi (hidden cost), misalnya bunuh diri, kecelakaan fatal akibat gangguan konsentrasi, kematian dikarenakan penyakit akibat penyalahgunaan alkohol, kehilangan pekerjaan, gagal melanjutkan sekolah, penyalahgunaan obat, disharmoni keluarga, penurunan produktivitas, kecelakaan akibat kerja dan sebagainya. (1)

Faktor biologik
            Terjadinya gangguan depresi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor ialah  faktor biologik, genetik, faktor psikososial dan faktor lingkungan. (3,4)
            Beberapa studi faktor biologik melaporkan adanya kelainan metabolit amin biogenik, misalnya 5 hydroxy indol acetic acid (5-HIAA), homovanilic acid (HVA) dan 5-hydroxy-4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) dalam darah, urine dan cairan serebrospinal  pada pasien gangguan mood. Dari laporan data tersebut sangat konsisten dengan hipotesis, bahwa gangguan mood berkaitan dengan disregulasi heterogen amin biogenik. Di antara amin biogenik tersebut norepinefrin dan serotonin merupakan neurotransmiter yang paling terlibat pada patofisiologi gangguan mood. Tapi ada juga hipotesis yang mengatakan bahwa dopamin terlibat pada gangguan tersebut. Selain amin biogenik, terdapat teori yang mengatakan keterlibatan regulasi endokrin dan faktor-faktor neurokimiawi lainnya misalnya asetilkolin, gama amino butyric acid (GABA), melatonin, glisin, histamin, tiroid, hormon adrenal dan neuropeptid (3,4,5)

Norepinefrin
            Diduga, bahwa sistem noradrenergik terlibat pada gangguan depresi. Hal ini berdasarkan studi ilmu dasar yang mengkaitkan adanya  down regulation reseptor β adrenergik dengan respon klinik terhadap antidepresan. Neuron noradrenergik mempunyai badan sel (cell body) sebagian besar di batang otak yang disebut locus ceruleus. Fungsi utama locus ceruleus adalah menentukan apakah perhatian bisa terfokus pada lingkungan eksternal dan memantau lingkungan internal tubuh. Norepinefrin dan locus ceruleus  diduga memberi input penting pada kontrol sistem saraf pusat, misalnya fungsi kognisi , mood, emosi, gerakan dan tekanan darah. Malfungsi locus ceruleus diduga mendasari gangguan mood dan kognisi seperti depresi, cemas, gangguan perhatian dan pemrosesan informasi. Sindroma defisiensi norepinefrin secara teoritis ditandai dengan hendaya perhatian, gangguan konsentrasi, gangguan working memory, gangguan pemrosesan informasi, retardasi psikomotor, kelelahan, apatis dan penurunan libido. Gejala-gejala tersebut sering menyertai depresi seperti juga menyertai gangguan perhatian, kognisi, skizofrenia dan sebagainya (1,6). Bukti lain menunjukkan, bahwa pada depresi terjadi aktivasi terhadap reseptor presinaptik β2 yang menyebabkan menurunnya pelepasan norepinefrin. Peran norepinefrin ini didukung dengan efektifnya, paling tidak untuk beberapa gejala, obat yang bekerja pada sistem norepinefrin misalnya venlafaxin (3)

Serotonin
            Dengan makin maraknya SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) untuk mengobati depresi, serotonin menjadi satu neurotransmiter penting berkaitan dengan gangguan ini. Selain SSRI dan serotonergik antidepresan efektif, data lain menunjukkan, bahwa serotonin terlibat dalam patofisiologi depresi. Kekurangan serotonin dapat mempresipitasi depresi dan pasien dengan impulsivitas bunuh diri memiliki kadar metabolit serotonin rendah (1,3).
            Markas besar badan sel neuron serotonergik berada di batang otak pada area yang dinamakan rafe nukleus. Dari rafe nukleus banyak terdapat proyeksi neuron ke bagian lain otak dan di luar otak. Proyeksi ke korteks frontalis diduga penting dalam pengaturan mood. Proyeksi ke basal ganglia berperan pada gerakan seperti obsesi dan kompulsi. Proyeksi ke daerah limbik terlibat pada keadaan cemas dan panik. Proyeksi ke hipotalamus mengatur selera serta perilaku makan. Neuron serotonergik di pusat tidur batang otak mengatur tidur terutama tidur stadium 3 dan 4 (slow wave sleep). Proyeksi serotonergik ke bawah ke medula spinalis diduga bertanggung jawab terhadap refleks spinalis, bagian dari reseptor seksual seperti orgasme dan ejakulasi. Terdapat zona “pacuan” di batang otak yang dapat memediasi muntah. Juga terdapat reseptor perifer di sistem gastrointestinal yang mengatur fungsi gastrointestinal misalnya gerakan usus. Defisiensi serotonin mengakibatkan satu sindrom yang meliputi mood depresi, anxietas, panik, fobia, obsesi-kompulsi dan bulimia. (1)
            Terdapat bukti, bahwa neurotransmisi serotonin sebagian dipengaruhi atau dikontrol faktor genetik. Tonus serotonin berfluktuasi. Dalam keadaan stres akut terjadi peningkatan serotonin sementara, dalam keadaan stres kronik menyebabkan penurunan aktivitas serotonin dan penyimpanan serotonin. sehingga mempunyai efek kompensasi yang bermakna. (1,6)

Dopamin
            Meskipun kebanyakan teori terjadinya depresi melibatkan serotonin dan norepinefrin, namun dopamin juga diduga mempunyai peran pada gangguan ini. Data menunjukkan, bahwa dopamin menurun pada depresi sedangkan pada mania meningkat. Obat-obat yang menurunkan kadar dopamin, misalnya reserpin dan penyakit dengan penurunan dopamin, misalnya Parkinson, berkaitan dengan gejala depresi. Sebaliknya obat-obat yang meningkatkan kadar dopamin, misalnya tirosin, amfetamin mengurangi gejala depresi. Teori saat ini mengenai dopamin dan depresi mengatakan bahwa lintasan dopamin mesolimbik mengalami disfungsi, dan reseptor dopamin tipe D1 mengalami hipoaktif pada depresi. Penurunan aktivitas lintasan mesolimbik dan mesokorteks pada depresi menggangu fungsi kognitif, motorik dan hedonia (3,6)

Faktor neurokimiawi lain
            Walaupun belum merupakan suatu kesimpulan, neurotransmiter asam amino (terutama gamma-amino butyric acid – GABA) dan peptida neuroaktif (terutama vasopressin dan opiat endogen) dikatakan berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Beberapa peneliti berpendapat bahwa sistem second messenger seperti adenylate cyclase, phosphotidylinositol dan kalsium dapat terlibat secara kausal. Asam amino glutamat dan glisin, yang merupakan neurotransmiter eksitatori utama dalam susunan saraf pusat terikat pada sisi yang berkaitan dengan N-methyl–D– aspartate (NMDA), dalam keadaan berlebihan mempunyai efek toksik. Hipokampus memiliki banyak (konsentrasi tinggi) reseptor NMDA, sehingga dalam keadaan dimana orang mengalami stres kronik akan terjadi efek neurokognitif, karena dimediasi oleh hiperkortisolemia. Terdapat bukti juga, bahwa obat yang bekerja antagonis terhadap NMDA reseptor memiliki efek anti depresan. (3)

Regulasi neuroendokrin
            Salah satu organ penting dalam otak, yaitu hipotalamus merupakan pusat regulasi aksis neuroendokrin. Ia memperoleh input neuronal yang melibatkan neurotransmiter amin biogenik. Berbagai gangguan neuroendokrin telah dilaporkan pada pasien-pasien gangguan mood , dan gangguan regulasi aksis neuroendokrin dapat diakibatkan oleh fungsi abnormal neuron-neuron yang mengandung amin biogenik. Aksis neuroendokrin utama yang terlibat di sini adalah aksis hormon adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. (3)
Aksis adrenal
Peran kortisol. Seperti sudah kita ketahui, teori lama mengatakan bahwa terdapat hubungan antara hipersekresi kortisol dengan depresi. Sekitar 50 % penderita depresi memiliki peningkatan kadar kortisol. Neuron dalam nukleus paraventrikuler (PVN) hipotalamus melepaskan corticotropinreleasing hormon (CRH); hormon ini merangsang pelepasan adrenocorticotrophic hormon (ACTH) dari hipofisis anterior. ACTH dilepas bersama dengan β – endorphin dan β–lipotropin, dua peptida yang disintesis dari prekursor protein yang sama dengan sintesisnya ACTH. ACTH merangsang pelepasan kortisol korteks adrenal. Mekanisme balik kortisol bekerja dengan cara paling tidak melalui 2 mekanisme. Mekanisme balik cepat : sensitif terhadap peningkatan kadar kortisol, bekerja melalui reseptor kortisol hipokampus dan menurunkan pelepasan ACTH. Mekanisme lambat : sensitif terhadap kadar stabil kortisol, mekanismenya diduga lewat reseptor hipofisis dan adrenal. (3)

Aksis tiroid
      Gangguan tiroid ditemukan pada sekitar 5 – 10 % pasien depresi. Implikasi klinis dari kaitan ini adalah pentingnya penentuan status tiroid pada pasien depresi. Sekitar sepertiga pasien gangguan depresi berat memperlihatkan pelepasan lambat (tumpul) tirotropin  (TSH) terhadap infus protirelin (suatu thyrotropin releasing hormone). Tapi abnormalitas ini terdapat juga pada gangguan psikiatrik lain, sehingga kemanfaatan diagnostiknya terbatas.(3)

Hormon pertumbuhan
      Beberapa studi menunjukkan perbedaan statistik antara pasien depresi dengan lainnya dalam hal pelepasan hormon pertumbuhan. Somatostatin menghambat GABA, ACTH dan TSH. Kadar somatostatin lebih rendah pada cairan serebrospinal orang depresi dibandingkan dengan orang skizofrenia atau orang normal, dan kadarnya meningkat pada orang dengan mania. Pelepasan prolaktin dari hipofisis dirangsang oleh serotonin dan dihambat oleh dopamin. Pada depresi tidak ditemukan abnormalitas bermakna sekresi prolaktin. (3)

Abnormalitas tidur
            Masalah tidur – initial and terminal insomnia, sering terbangun, hipersomnia- merupakan gejala klasik depresi. Telah lama diketahui, bahwa gambaran EEG tidur orang depresi memperlihatkan abnormalitas, yang lazim adalah delayed sleep onset, pemendekan latensi REM (rapid eyes movement) , periode REM pertama memanjang, tidur delta abnormal. EEG tidur ini sering dipakai oleh para peneliti dalam asesmen diagnostik pasien dengan gangguan mood (3)

Neurofisiologi
            Gejala-gejala gangguan mood dan studi biologik menunjukkan, bahwa pada gangguan mood terdapat gangguan pada sistem limbik, hipotalamus dan basal ganglia. Orang yang mengalami gangguan neurologik basal ganglia dan sistem limbik tampaknya mengalami gejala-gejala depresi. Sistem limbik dan basal ganglia merupakan dua organ yang saling terkait erat. Sistem limbik mempunyai peran penting pada munculnya emosi. Adanya disfungsi hipotalamus pada depresi ditunjukkan dengan adanya perubahan tidur, napsu makan, perilaku seksual, perubahan-perubahan endokrin dan immunologik. Gejala lain depresi, seperti postur bungkuk, perlambatan motorik dan hendaya kognitif minor mirip dengan tanda orang dengan gangguan basal ganglia, misalnya Parkinson. (3)

Hipotesis monoamin ekspresi gen
Walaupun teori defisiensi monoamin sudah begitu sering dikemukakan berkaiatan terjadinya depresi, namun sebenarnya hingga sejauh ini belum ada bukti yang jelas dan meyakinkan bahwa defisiensi monoamin bertanggung jawab terhadap depresi, dalam arti tidak ada defisit monoamin yang nyata. Tidak ada bukti yang benar-benar nyata, bahwa kelebihan atau defisiensi reseptor monoamin mengakibatkan depresi. Sebaliknya berkembang bukti, bahwa walaupun kadar monoamin dan reseptornya normal tapi sistem tersebut tidak berespon secara normal misalnya penelitian terhadap reseptor monoaminergik dengan obat yang menstimulir sistem ini akan mengakibatkan penurunan output hormon neuroendokrin, dan menyebabkan perubahan defisit pada neuronal firing rates seperti diperlihatkan pada positron emission tomography (PET). Pemikiran ini memunculkan suatu ide bahwa depresi dapat merupakan defisiensi pseudomonoamin akibat defisiensi transduksi sinyal dari neurotransmiter monoamin ke neuron post sinaptik dimana jumlah neurotransmiter dan reseptornya normal. Apabila terdapat defisiensi proses molekuler dimulai dari okupansi reseptor oleh neurotransmiter dapat menyebabkan defisiensi respon seluler sehingga terjadi yang disebut defisiensi pseudomonoamin, misalnya reseptor dan neurotransmiter normal tapi transduksi sinyal dari neurotransmiter ke reseptornya kacau. (1).
            Keadaan yang mirip mungkin terjadi dari hipotesis adanya problem peristiwa molekuler distal dari reseptor. Sistem pembawa pesan ke dua (second messenger system) yang mengakibatkan pembentukan faktor transkripsi intra seluler yang mengatur gen dapat merupakan sisi defisiensi fungsi sistem monoamin. Ini merupakan tantangan riset saat ini yang berbasis molekuler pada gangguan afektif. Hipotesis ini mengatakan bahwa defisiensi secara molekuler terjadi pada monoamin yang berada distal terhadap neuron monoamin dan reseptornya, meskipun tampak jumlah monoamin dan reseptornya normal (1)
Satu kemungkinan mekanisme gangguan transduksi sinyal dari reseptor monoamine adalah target gen bagi BDNF (brain derived neurotrophic factor).  Secara normal BDNF berfungsi mempertahankan kehidupan neuron otak. Dalam keadaan stres, gen untuk BDNF tertekan mengakibatkan atrofi atau apoptosis neuron-neuron hipokampus yang vulnerable bila BDNF mengalami kerusakan. Keadaan ini bisa menyebabkan depresi dan konsekwensi terjadinya episode berulang, artinya bisa muncul berkali-kali episode berulang dan kurang responsif terhadap pengobatan. Kemungkinan turunnya jumlah neuron dan hendaya fungsi neuron-neuron di hipokampus selama depresi didukung oleh studi imaging  klinis yang memperlihatkan penurunan volume otak (struktur yang terkait). Hipotesis molekuler dan seluler ini sesuai dengan mekanisme distal reseptor dan melibatkan ekspresi gen. Dengan demikian stress induced vulnerability menurunkan ekspresi gen, dan hal ini membuat faktor neurotropik seperti BDNF menjadi hal yang penting bagi kehidupan dan fungsi neuron. Hipotesis ini berkonsekuensi logis, bahwa obat anti depresan mengatasi kondisi ini dengan teraktivasinya gen bagi faktor neurotropik. (1)

Penutup
Terdapat beberapa faktor seperti neurofisiologi, sistem neurotransmiter, neuroendokrin dan hipotesis ekspresi gen. Diharapkan untuk waktu mendatang lebih banyak lagi bukti-bukti secara neurobiologi mengungkap proses atau mekanisme gangguan psikiatri khususnya gangguan depresi.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Stahl,S.M. 2002, Essential Psychopharmacology-Neuroscientific Basic and Practical Applications,2nd Ed,Canbridge University Press,Canbridge.

2.      Neal,M.Z, 1993,Medical Pharmacology at a Glance, 2nd , Black Well Scientific Publications, London.

3.      Sadock B.J. and Sadock V.A., eds, 2003, Kaplan and Sadock’s Synopsis of  Psychiatry, Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 9thed, Lippincott Williams and Wilkins, New York

4.      Loosen,P.T, 2000, Mood Disorder dalam Ebert,M.H,at.al,ed, Current Diagnosis & Treatment in psychiatry, Mc Graw-Hill International editions, New York, 290 -327.

5.      Hyman,S.E, 1993, The Molecular Foundation of Psychiatry, American Psychiatric Press, Inc.1st ed, Washington.

6.      Thase,M.E, 2005, Mood Disorder : Neurobiology dalam Sadock .B.Y. and Sadok,V.A,eds : Comprehensive Textbook of Psychiatry, vol 1 B, 8th ed. Lippincott Williams and Wilkins, New York, 1594 – 1603.

10 komentar:

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Marini Nike Saputri nikenickei@yahoo.com

ajeng
ummi_nillza@yahoo.com

Grace
grace.siagian@hotmail.com

lukman
toink42@yahoo.co.id

ragill.
ragilliaramadhanty98@gmail.com

ENY PUJIATI eny.pujiati@yahoo.co.id

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More